Lihat ke Halaman Asli

diary 1

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumahku adalah surgaku, begitulah selama ini aku dengar. Tapi untukku saat ini, rumahku bagaikan neraka bagiku, namun walau begitu, aku selalu berharap dan berdoa agar rumahku kembali menjadi surgaku sepertu dulu.

Ada luka yang menyayat di setiap detik. Ada tangis disetiap hembusan nafasku. Aku tak bisa membayangkan luka seperti apa yang dirasakan ibuku. Jika aku saja merasakan rasa sakit yang luar biasa. Bagaimana rasanya dikhianati suaminya sendiri.

Ibu, sosok wanita yang sangat tangguh dalam menghadapi cobaan beliau. Sebagai seorang wanita aku bias merasakan luka yang sangat mendalam. Sungguh ini bukan sekedar goresan luka. Tapi bener-bener remuk. Sudah begitu lamanya aku dan ibuku menyembunyikan aib ini dengan rapatnya agar orang lain dan tetangga tak mengetahuinya.

“wahai ibu, sabarkanlah hatimu, kuatkanlah jiwamu, jangan sampai engkau mengambil jalan yang salah, sehingga akan merugikan dirimu dan anak-anakmu, engkau telah berjuang berpuluh-puluh tahun untuk menjadikan putra-putrimu menjadi orang yang cerdas dan hafidz/hafizdah. Allah pasti akan membalas kebaikanmu. ”

Selama ini, aku hanya diam karena tak punya bukti. Aku tak berani menegur bapak karena aku takut, bukan karena beliau orang yang keras, tapi karena aku takut jadi anak yang durhaka.Aku tak bias membantu membela saat ibu dicaci maki bapak, aku tak bias membela ibu saat diancam akan dicerai, aku hanya bias menangis, sungguh hatiku sakit tiada tara. Bertahun-tahun masalah ini membuat keluargaku rapuh, aku sudah berusaha sangat keras untuk menyelesaikan masalah ini baik-baik, namun apa yang terjadi? Semua usaha itu hanya sia-sia, aku belum bisa menyelesaikannya. Setiap hari yang terjadi hanya percekcokan. Keluargaku penuh dengan dosa sehingga segala sesutu menjadi terhambat. Aku tak bisa fokus, hanya emosi yang selalu muncul. Pikiranku menjadi kacau.

“wahai bapak, apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau tak pernah melihat kebenaran? Kenapa hanya emosi yang engkau pertahankan?berbagai barang engkau hancurkan hanya karena emosimu. Padahal engkau telah benar-benar melakukan kesalahan itu. Apa yang telah menutup matamu? Engkau adalah orang beragama , paham syariat, tapi kenapa engkau lakukan larangan itu???kenapa engkau tega menghianati ketulusan ibu???engkau menyekolahkanputra-putrimu tinggi dan beragama. Engkau mewajibkan putra-putrimu untuk menghafal al-Qur’an. Tapi kenapa malah engkau melakukan keharaman itu???” apa engkau tak malu?? Putra-putrimu sudah dewasa semua, umurmu sudah lanjut, tapi kenapa???”

“”ya Allah Ya Robby, Engkau jadikan keluarga kami sebagai cobaan pada kami. Engkau jadikan bapak kami yang shaleh itu melakukan dosa, engkau uji kesabaran kami agar kami lebih dekat dengan Mu. Semoga kami kuat dan mampu menyelesaikan dengan baik. Semoga ibu kuat menerima ujian yang berat ini ya Robb.”

Aku seperti sudah tak kuat lagi menerima cobaan ini. tapi aku harus kuat. Aku harus bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik tanpa ada yang tersakiti. Tapi apa yang harus aku lakukan? Semua usahaku sia-sia. Aku hanya orang yang lemah.

“Ya Allah, jadikanlah aku penyabar dan bersabar dengan setiap dugaan-Mu. Amin”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline