Lihat ke Halaman Asli

Redupnya Cahaya Syurga di Rumahku (diary 2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat dengan mata kepalaku, perempuan yang sering mampir di tempat kerja bapak, kini aku menyaksikan mereka berdua boncengan dari arah selatan.

“ pak, ini putrinya ya?” Tanya perempuan itu saat melihat aku sudah menunggu bapak.

“ iya” jawab bapak pendek.

Aku baru saja pulang kuliah, karena sudah malam, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Sengaja aku mampir tempat kerja bapak karena aku tak berani pulang malam-malam sendirian. Entah kenapa, suasana malam ini terasa tidak enak. Bapak mengajakku makan di warung angkringan dekat gudang tempat kerjanya.

“mbak, maaf bapak tadi aku pinjam sebentar”, kata perempuan yang tadi bonceng bapak.

Aku hanya tersenyum. Mengangguk, walaupun sebenarnya aku tak rela. Di warung angkringan itu, aku merasa tak nyaman, ada sepasang mata lelaki yang sedari tadi melihat ke arahku, sambil tersenyum dan berdanda sama bapak.

“pak, putrinya biar saya antar saja, nanti bapak ngantarin tini,”

“tidak boleh. Aku tahu maksudmu supar, jangan berani macam-macam ya” kata bapak tegas, tak lupa sambil tersenyum.

“alah pak, bapak aja macam-macam kok” kata mereka sepempak.

Aku hanya mendengarkan. Diam. Tapi aku merasa sangat tak nyaman. Suasana lingkungan tempat kerja bapak sangat menghawatirkan. Dari percakapan yang aku dengar, aku bias menyimpulkan bahwa mereka bukanlah orang yang paham agama. Perempuan-perempuan itu, bukanlah perempuan baik-baik, begitu juga yang laki-laki. Aku ingin segera meninggalkan tempat itu. Dan aku juga berharap bapak akan menjaga jarak dengan orang-orang seperti itu.

Di rumah, aku juga merasakan perubahan sikap bapak. Sudah beberapa bulan bapak tak pernah menyimak hafalanku. Padahal biasanya tiap gabis subuh. Tapi akhir-akhir ini, jika aku mengajak, bapak selalu menolak dengan nada marah, dan dengan alas an mengantuk. Aku juga memperhatikan tingkah laku bapak sangat berbeda. Dulu, bapak adalah orang yang suka bergaul, penyayang dan ramah. Tapi sekarang semua itu tak terlihat lagi. Bapak tak pernah berangkat pengajian al-Qur’an. Dan yang lebih aku khawatirkan, bapak selalu telpon dengan seorang perempuan dengan nada yang mesra. Terdengar olehku pun, bapak hanya cuek.

Waktu terus berlalu, kecurigaanku terhadap bapak sudah satu tahun lebih. Tapi aku hanya diam. seperti biasa, saat aku pulang kuliah, aku selalu mampir ke tempat kerja bapak. Dan aku merasakan seperti biasa, hawa yang tak enak. Aku menunggu bapak di luar ruang tempat kerja. Di sana terlihat ada seorang laki-laki separuh baya yang kelihatannya sedang menunggu seseorang. Tak biasanya bapak membiarkan aku menunggu lama di luar. Dan saat keluar, bapak terlihat sangat terburu-buru dan laki-laki paruh baya yang sejak tadi di luar gudang itu mengikuti bapak dengan emosi.

“pak Agus, saya mau bicara sebentar. Kenapa bapak selalu menghindar saat saya temui? pak agus suka sama tini? Kemaren pak agus mengajak jalan-jalan ke pantai ya?. Pak, dengar. Tini itu sudah aku kontak. Jadi kalau bapak berani menyentuhnya, berani mengajak pergi, aku tidak akan tinggal diam.”

Aku melihat raut muka bapak merah. Marah. Tanpa berkomentar, bapak langsung tancap gas. Aku mengikutinya dari belakang dengan hati yang terluka. Dalam perjalanan, aku tak bias menyembunyikan tangisku. Sedah lama aku curiga dengan sikap bapak. Tapi hari ini, aku mendapat satu bukti bahwa bapak ada rasa terhadap perempuan gemuk itu. Dan itu semua disembunyikan dari ibu, dan dari aku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline