Ulah bengis kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua tiada hentinya. Mereka melakukan sejumlah rentetan kekerasan bersenjata terhadap guru hingga siswa sekolah di Papua. Gerombolan KKB ini menembaki guru dan siswa sekolah, hingga menimbulkan korban tewas. Tak hanya berhenti di situ, mereka juga membakar sekolah. Pembantaian yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua mengundang keprihatinan di seluruh penjuru negeri. Setidaknya, kasus ini telah menewaskan puluhan pekerja proyek Trans Papua dan prajurit TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyebutkan jika konflik senjata ini juga disebabkan adanya perebutan sumber daya ekonomi. Pasalnya, Intan Jaya khususnya di Distrik Supaya merupakan daerah potensi tambang emas. Adanya rencana penambangan Blok Wabu oleh PT Aneka Tambang Tbk inilah yang dikhawatirkan semakin meningkatkan eskalasi konflik bersenjata di Intan Jaya.
Entah sampai kapan situasi aman dan kondusif. Namun yang pasti, roda pemerintahan tak dapat berjalan normal jika baku tembak kembali terjadi. Belum lagi warga sipil yang justru, menjadi korban. Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi MPR RI untuk Papua, Yorrys Raweyai menyebutkan ada kekecewaan yang berkepanjangan dari generasi ke generasi yang melatarbelakangi KKB Papua. Sementara itu, diskriminasi rasial yang terjadi di kalangan orang Papua juga terus meningkat. Selain peristiwa Surabaya dan Jawa Timur yang terjadi pada 2019, stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang Papua masih sering terjadi, baik di kalangan masyarakat biasa, pelajar atau mahasiswa, guru atau dosen hingga kepada pejabat/elit politik yang memiliki ras asli Papua (Melanesia).
Berbagai lontaran kata-kata rasis sudah sering disampaikan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu, berbagai bentuk diskriminasi secara umum seperti ketidakadilan dalam proses penegakan hukum, hak ekonomi yang dirampas, serta kesenjangan sosial yang tinggi hingga pelecehan terhadap budaya asli orang Papua masih sering terjadi. Gagalnya pembangunan infrastruktur sosial juga menjadi akar konflik di Papua. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka harapan hidup orang Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 adalah yang paling pendek se-Indonesia, yaitu antara 65,65 tahun hingga 65,90 tahun. Ini bahkan jauh lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu 71,34 tahun.
Sedangkan pada sektor pendidikan, rasio buta huruf di wilayah Papua pada 2018 adalah yang paling tinggi se-Indonesia, yaitu 28,75%. Rasio ini jauh lebih tinggi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menempati posisi ke-2, yaitu 7,9%. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah Papua pada 2019 menempati posisi paling rendah di Indonesia, yaitu berkisar antara 64,7 poin untuk Papua Barat dan 60,84 poin untuk Papua. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu 71,92 poin. Selain itu kebijakan otonomi khusus (Otsus) yang diberlakukan mulai 2001 di Papua dianggap gagal.
Dana Otsus yang pada awalnya diasumsikan dapat menyejahterakan orang Papua gagal karena hingga saat ini wilayah Papua merupakan daerah paling miskin di Indonesia, di mana angka kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 38% dan di Provinsi Papua Barat mencapai 40%. Persoalan-persoalan di atas kemudian menjadi dasar dari konflik yang selama ini terjadi di Papua sehingga menyebabkan peningkatan aksi protes dan kemunculan kelompok-kelompok pro referendum baru.
Seperti telah disampaikan oleh LIPI, penyelesaian akar masalah konflik Papua hanya dapat dilakukan dengan dialog, tidak dapat dengan intervensi kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memulai dialog dengan tokoh separatis Papua di bawah mediasi pihak ketiga yang netral. Sebenarnya, pada September 2019, Presiden Jokowi menyatakan bahwa ia tidak ada masalah dengan usulan untuk bertemu dengan tokoh pro referendum Papua seperti Benny Wenda, tetapi belum ada jadwal yang disepakati.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang juga mantan Panglima TNI, mengatakan sebelum bertemu dengan Presiden Jokowi, Benny Wenda harus bertemu dengannya terlebih dahulu. Ini menandakan bahwa setiap upaya untuk melakukan dialog dengan tokoh separatis Papua akan menghadapi perlawanan dari anggota Kabinet yang banyak di antaranya adalah mantan perwira TNI atau Polri. Padahal, ini adalah langkah penting untuk menyelesaikan konflik Papua, yang hingga kini terus memanas dan memakan korban.
Selain itu, juga lebih menghargai kebudayaan masyarakat Papua yang masih menjadi pedoman kuat mereka. Kemudian, tidak menggunakan pendekatan militer dengan menarik personel TNI yang berada di Papua. Sehingga, dengan penarikan tersebut, maka, masyarakat Papua akan menilai jika pemerintah sudah memberikan keadilan bagi mereka. Jadi yang harus dilakukan pemerintah memberikan keadilan dan perdamaian. Jangan ada penurunan pasukan dari TNI dan tarik TNI yang ada di sana.
"NKRI harga mati", demikian slogan bangsa ini terkait kedaulatan dan keutuhan wilayah teritorial.
Saya merasa jumlah korban jiwa dari konflik ini telah lebih dari cukup. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatan keamanan terhadap konflik Papua, dan menyarankan pemerintah melakukan pendekatan humanis yang menyentuh akar penyebab konflik tersebut.