Lihat ke Halaman Asli

Kegagalan Olahraga Indonesia, Menpora Harus Bertanggung Jawab

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kegagalan demi kegagalan dialami oleh atlit-atlit Indonesia dalam berbagai kejuaraan internasional. Sudah sangat jarang kita mendengar ada atlit Indonesia yang menjuarai sebuah turnamen berkelas internasional atau paling tidak ikut bersaing hingga final. Namun yang paling menyedihkan adalah bahwa kegagalan tersebut sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini dan tidak ada indikasi adanya potensi untuk memperbaiki diri dan kembali berprestasi. Dari waktu ke waktu, olahraga Indonesia semakin terpuruk dan tambah rusak oleh orang-orang yang lebih fokus untuk mengambil keuntungan materi dari olahraga itu demi kepentingannya dan kelompoknya.

Kegagalan paling anyar yang sangat mengecewakan adalah kegagalan timnas Indonesia mengalahkan Laos pada pertandingan di AFF Suzuki Cup 2012. Bahkan pada cabang olahraga bulutangkis yang selama ini menjadi andalan pun Indonesia tidak bisa lagi bersaing untuk menjadi yang terbaik. Tim bulutangkis Indonesia tidak hanya gagal menyumbangkan emas pada olimpiade London 2012 tetapi sama sekali gagal menyumbangkan medali bagi Indonesia. Nasib cabang-cabang olahraga lain juga tidak kalah menyedihkan.

Apabila diperhatikan dengan cermat, kegagalan olahraga Indonesia sudah terjadi di berbagai tingkat hingga hal-hal teknis pendukung. Kegagalan tidak lagi hanya minimnya prestasi, tetapi juga kurangnya sarana dan prasarana olahraga, kurangnya kesempatan bagi atlit untuk bertanding karena minimnya kompetisi, manajemen olahraga yang carut marut seperti pada pelaksanaan Sea Games dan PON terakhir, para pengurus olahraga Indonesia yang tidak kompeten baik di induk organisasi maupun di Kemenpora, serta keinginan-keinginan menyelewengkan anggaran-anggaran yang tadinya diperuntukkan bagi peningkatan infrastruktur dan prestasi olahraga Indonesia.

Dari perspektif prestasi, kita sudah sangat sering mendengar atau melihat di media sulitnya atlit-atlit Indonesia selalu menjadi inferior ketika berhadapan dengan atlit negara lain. Contoh paling nyata adalah apa yang terjadi dengan supremasi bulutangkis Indonesia yang kini tinggal sejarah. Dalam berbagi event super series yang diadakan oleh BWF, pemain-pemain bulutangkis Indonesia lebih sering gagal dibanding menjadi juara. Dari catatan BWF dapat kita lihat bahwa dari delapan kejuaraan super series pada tahun 2012, di sektor tunggal putra Indonesia hanya sekali menjadi juara melalui Simon Santoso pada Indonesia Super Series, sekali di ganda putra melalui Markis/Hendra, lalu Tontowi/Liliyana menjadi juara All England dan India Open. Sedangkan pada sektor tunggal putri dan ganda putri, Indonesia sama sekali tidak pernah juara. Tahun 2011 lebih parah lagi karena dari 14 kali kesempatan, tidak ada pemain Indonesia yang mampu menjuarai turnamen super series kecuali Tontowi/Liliyana lagi di sektor ganda campuran sebanyak dua kali di India Open dan Singapore Open. Semua pemain dari sektor lain tidak ada yang mempu bersaing. Tahun 2010 juga tidak lebih baik karena hanya dua kali Indonesia mampu juara di tunggal putra dari 12 kali kesempatan. Tahun 2009 juga sama gagalnya karena hanya mampu juara melalui ganda putra dua kali dan ganda campuran sekali. Yang paling menyedihkan adalah di sektor putri yang selalu kesulitan ikut bersaing bahkan hanya untuk mencapai semifinal.

Pada cabang olahraga yang paling populer yaitu sepakbola, Indonesia tidak lebih baik bahkan sangat berantakan. Permasalahan di sepakbola mulai dari nihilnya prestasi, kompetisi yang buruk, sistem pembinaan usia dini yang kacau, politisasi sepakbola, sampai dengan kelicikan sekelompok orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya melalui sepakbola. Munculnya KPSI yang ujung-ujungnya bukan menyelamatkan tetapi menghancurkan sepakbola Indonesia menambah sulitnya memperbaiki sepakbola Indonesia yang terlanjur sudah sangat hancur karena ulah segelintir orang tidak bertanggung jawab.

Pertanyaan pentingnya adalah siapa yang harus bertanggung jawab untuk kegagalan-kegagalan itu. Menpora seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Visi dan misi Kemenpora untuk mewujudkan keolahragaan yang berdaya saing telah terbukti tidak tercapai. Ketidakbecusan mengurus olahraga sudah terlihat dengan penyelewengan dana pembangunan wisma atlit dan sarana olahraga di Hambalang yang juga melibatkan pejabat Kemenpora. Bahkan ada indikasi kuat bahwa Menpora juga terlibat dalam kasus Hambalang.

Pihak lain yang perlu bertanggung jawab adalah orang-orang yang menjadi pengurus induk olahraga. Misalnya pada bulutangkis, drastisnya penurunan prestasi bulutangkis Indonesia pada beberapa tahun terakhir adalah tanggung jawab PBSI juga. Hingga saat ini tidak terlihat bagaimana rencana PBSI baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengembalikan supremasi Indonesia di dunia bulutangkis.

Demi kejayaan olahraga Indonesia, sekarang adalah saat yang tepat bagi orang-orang tidak mampu dan gagal tersebut untuk mundur lalu memberikan kesempatan bagi orang yang lebih mampu serta memiliki komitmen untuk memajukan olahraga Indonesia.

Salam Olahraga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline