Pendidikan merupakan hak setiap individu, tidak terbatas gender, umur, tempat, dan lain sebagainya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, saat ini Indonesia sendiri sedang berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan melalui sistem zonasi yang mengatur penerimaan peserta didik berdasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah yang dipilih. Sebagai kebijakan yang baru, penerapan sistem tersebut pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 menuai pro-kontra dari masyarakat.
Sistem Zonasi merupakan salah satu cara efektif pemerintah dalam mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan, yang berpijak pada kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan mengukur zona radius tempat berdomisili peserta didik terhadap sekolah yang diminatinya. Apabila terdapat siswa yang ingin bersekolah di luar zona radius yang ditetapkan maka bisa menggunakan jalur prestasi dengan kuota yang telah ditetapkan.
Salah satu tujuan penerapan sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah di Indonesia adalah agar setiap sekolah dan wali murid terlibat dalam perencanaan, untuk membantu sekolah mempertahankan struktur pengajaran yang stabil, untuk pemerataan sekolah sehingga setara, untuk menertibkan penggunaan sumber daya nasional seperti perencanaan, pembangunan, dan mencegah terjadinya fluktuasi penutupan sekolah karena adanya masalah kepegawaian.
Namun, tujuan mulia tersebut terhambat akibat pelaksanaan sistem zonasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan tertentu, serta masih jauh dari keadilan, karena terdapatnya kekurangan tersebut. Hambatan yang kerap kali ditemui adalah sarana dan prasarana yang tidak merata dari disparitas sekolah favorit dan non favorit, ketidakjelasan informasi yang beredar, adanya ketidaksesuaian antara jumlah penduduk dengan keberadaan sekolah di daerah tertentu, dan lain sebagainya.
Oleh sebab hambatan tersebut, muncul banyak tanggapan negatif dari berbagai pihak. Masyarakat menilai bahwa sistem zonasi tidak mampu menyelesaikan isu pendidikan karena tidak semua kualitas sekolah dan pengajarnya setara di semua daerah. Banyak sekolah yang lokasinya terpusat atau terkonsentrasi di suatu zona di daerah sehingga menyulitkan masyarakat yang tinggal di pinggiran atau di zona lain, serta infrastruktur Indonesia dinilai belum merata menjangkau daerah-daerah di luar pulau Jawa. Alhasil pelaksanaan sistem zonasi dirasa malah hanya menambah sulit bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dengan kualitas yang baik.
Namun tak sedikit pula PPDB mendapat respon positif dari beberapa kalangan karena kemampuannya untuk memberi akses yang lebih luas kepada siswa bertaraf ekonomi rendah. Bagi siswa, kesulitan biaya ke bimbel dan mendapat nilai tinggi untuk masuk sekolah yang diinginkan sudah tidak menjadi rintangan. Tidak adanya kekhawatiran menempuh perjalanan jauh untuk dapat ke sekolah karena keterbatasan kepemilikan alat transportasi. Bahkan, jarak dari rumah ke sekolah dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Dalam hal ini, zonasi menunjukkan kapasitasnya untuk membantu mendorong akses siswa yang berasal dari kelas rendah yang selama ini hanya kelas sosial menengah ke atas saja sebagaimana yang telah terjadi selama kurun waktu satu dekade terakhir.
Apapun persepsi yang dimiliki masyarakat saat ini, kondisi riil yang harus dihadapi adalah mengikuti regulasi dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik yang pro maupun kontra terlepas dari sikapnya terhadap kebijakan tersebut. Namun demikian, pekerjaan terbesar pemerintah adalah mempersiapkan fasilitas yang menunjang sistem zonasi itu. Dengan demikian, tujuan paripurna dari penerapan zonasi yaitu menciptakan pendidikan nasional yang berasas kemajuan juga keadilan akan benar-benar tercapai.
link jurnal: https://us.docworkspace.com/d/sINTZ7-Qer8qSpwY?sa=e1&st=0t
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H