Lihat ke Halaman Asli

Rasa Kemanusiaan Saya Diuji dan Saya Tidak Lulus

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13533706421028814784

[caption id="attachment_224659" align="alignleft" width="404" caption="earthlingopinion.wordpress.com"][/caption] Saya melamun menatap pada rintik gerimis yang datang pagi-pagi di kebun kami.Memandang pepohonan tegar yang sengaja dibariskan rapi, agar kami tidak sulit mengutipi getah yang mengalir, menggumpal dari irisan kulit tak lebih dari 2 mili. Redup dan basah. Tampak semua setuju dengan alam. Memulai hari dengan pelan.Menikmati sedikit dingin yang merembes pada kulit yang tidak berlapis baju tebal.

Saya nyaris terus diam dengan fikiran sendu tentang hujan saat suara driver di sebelah kanan yang tiba-tiba memelankan laju kendaraan. Terlihat di depan kami sebuah angkot berhenti, dua orang laki-laki turun dan menyebrangmenuju pinggiran yang berparit dangkal. Saya melongokkan kepala,sebuah sepeda motor tergeletak direrumputan yang meninggi, seorang laki-laki tak bergerak tertimpa kendaraannya sendiri.

Tidak terlihat ada darah. Mungkin ia tergelincir karenaaspal yang licin. Terlihat ragu, mereka mencoba mengangkat tubuh yang rupanya agak besar itu, melambai pada kami untuk minta perhatian. Saya melihat ke belakang, pada box kendaraan kami yang dijejali beberapa ember kecil berisi sampel tanaman yang harus segera saya tangani.

Dalam menit kritis saya untuk mengambil keputusan sang driver melambaikan tangan sambil bilang “kami buru-buru”. Saya terdiam, resah, berkecamuk dalam segala keinginan ideal yang berbenturan dengan kenyataan bahwa saat itu keputusan memang tidak murni ada pada saya. Driver itu sedang bertugas mengantarkan saya. Kami sama sedang berdinas, dan semestinya tak punya kepentinganselain dari tugas.

Mobil ia lajukan lagi meninggalkan dua orang yang terus melambai pada sesiapa yang lewat. Saya masih melihat hingga kejauhan, belum ada yang berhenti . “Rumit urusannya nanti buk” kata pria bermata sipit tapi jawa itu. Saya menghela nafas dan membesar-besarkan hati,“ah ya, mereka kan bisa bawa pakai angkotnya ya..”Saya terdiam hingga sampai. Satu lagi fakta yang harus saya telan,bahwa ternyata saya sama saja.

Tempo hari driver ambulans perusahaan bercerita bahwa saat menjemput pasien rujukan , lampunya sempat menyenter pada jasad berlumur darah dibawah trukyang parkir sembarangan,di jalanan sepi tanpa penerangan. Tapi ia memutuskan berlalu menjemput pasien-pasien yang sudah menunggu. Lalu keesokan paginya ia tahu bahwa jasad yang ia tinggalkan semalam adalah satu dari staf training perusahaan, anak dari orang yang dia kenal,sedang kami doa kan sebelum dikuburkan.

Saya protes waktu itu. Cerewet membeberkan tentang kemanusiaan. Dan kemarin ( 19/11)saat sama dihadapkan, saya juga berusaha mencari pembenaran .

Dolok Merangir, 20 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline