Hari ini, satu bulan sebelum hari kelahiranku, ada semburat semangat yang tak ragu-ragu melantangkan diri. Unggahan mengenai kesetaraan, keberhasilan perempuan, dan eksistensinya yang tak lagi disekat oleh dinding bernama ketidakadilan hilir mudik pada setiap kubikal sosial media. Hari Perempuan Internasional, begitulah mereka menamainya. Dari beberapa unggahan, aku memperhatikan bahwa hari ini dirayakan sebagai hari kemenangan.
Beberapa perempuan merayakannya dengan meluncur ke jalan, menyuarakan pendapat mereka. Beberapa lainnya memilih menenggelamkan diri pada hal-hal yang dicintainya, bekerja misalnya.
Tidak ada yang salah. Layaknya perayaan-perayaan lainnya, semua orang berhak menggembirakan diri dengan caranya sendiri. Hanya saja, sebuah pertanyaan mengenai Hari Perempuan Internasional ini menodong secara tiba-tiba. Apa makna sebenarnya di balik kemerdekaan perempuan ini?
Jika perempuan yang berkumpul dan menyuarakan hak-haknya itu hanya berkubu dan menunjukkan taringnya hanya di hari ini, jika perempuan lain sibuk mengerjakan berbagai hal dan lupa mengenai tujuannya menikmati hidup, jika hal-hal yang tertutur hanya sekadar upaya melawan bualan semua tetap sia-sia.
Harga seorang perempuan ada pada dirinya sendiri, hal inilah yang seharusnya dirayakan. Nilai seorang perempuan tidak terletak dari seberapa lantang suaranya, tidak pula dari sebanyak apa dirinya bisa mencetak pundi-pundi, tidak pula dari pengakuan yang diberikan oleh lingkungannya.
Nilai itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Nilai itu yang menjadikannya bisa merayakan 8 Maret ini dengan kebahagiaan. Bukan sekadar mengikut euphoria dan keesokan harinya melepaskan berbagai keluhan-keluhan tak terkendali mengenai ini-itu. Seakan-akan hari merdeka yang dihadirkan itu memang memiliki masa kadaluarsa.
Potret Perempuan Masa Kini
Perempuan sudah merdeka, begitu kata mereka. Perempuan sudah bebas. Nyatanya berbagai belenggu baru menghiasi bekas-bekas luka di hati mereka. Stigma mengenai cara melahirkan secara 'normal' secara tak langsung dikatakan mendiskreditkan nilai perempuan yang lahir secara sesar.
Penggunaan kata normal pun dewasa ini perlu diperhalus menjadi pervaginam dikarenakan kubu perempuan yang melahirkan secara sesar merasa bahwa tidak ada normal dan abnormal dari sebuah kelahiran.
Tidak hanya itu, beberapa waktu belakangan, potret perempuan independen sangat mudah dijumpai, meskipun pada kenyataannya beberapa perempuan tersebut justru sangat dependen terhadap pujian, merasa kelas sosial dan nilai dirinya lebih tinggi dari yang lain.
Tidak ada yang salah dari kata merdeka. Tidak ada yang salah dari kata independen. Tidak ada yang salah menjadi seorang perempuan. Menjadi sebuah kesalahan ketika perempuan yang seharusnya hadir memapah sesama perempuan, justru menikam perempuan lain hingga kehilangan kemampuannya untuk bangkit.