"Bunda, kok kita nggak pernah ke Masjid Agung lagi?" Tanya keponakan saya. Sebelum pandemi, sesekali kakak saya akan mengajak anak-anaknya berbuka puasa bersama di Masjid Agung Al-Falah, Jambi.
"Kalau Covid-19 sudah tidak mengganggu kita lagi, baru kita aman berbuka puasa disana, Dek. Mudah-mudahan, tahun depan kita bisa berbuka puasa di Masjid Agung lagi, ya?" Bujuk kakak saya.
Masjid Agung Al-Falah adalah masjid terbesar di Provinsi Jambi, mampung menampung hingga 10 ribu jamaah. Masjid ini menjadi kebanggaan masyarakat Jambi dengan julukannya "Masjid Seribu Tiang". Meskipun julukannya "Masjid Seribu Tiang", kenyataannya masjid ini hanya memiliki 256 tiang.
Sebelum pandemi, setiap Ramadan masjid ini selalu ramai dikunjungi. Aneka menu berbuka puasa tersedia bagi siapa.saja yang datang ke masjid. Biasanya, kakak saya tetap membawa bekal sendiri dari rumah. Menjelang waktu berbuka puasa, keponakan-keponakan saya melihat ikan-ikan di kolam. Dengan membeli sebungkus makanan ikan seharga Rp. 5.000,- keponakan-keponakan saya semakin asik memperhatikan ikan yang ada di kolam masjid.
Masjid Agung Al-falah kota Jambi diresmikan penggunaannya oleh presiden Soeharto pada tanggal 29 September 1980. Laman kemenag.go.id menjelaskan, lokasi berdirinya Masjid Agung Al-Falah dahulunya adalah pusat kerajaan Melayu Jambi, atau lokasi istana Sulthan Thaha Saifuddin.
Masjid ini berdiri diatas lahan seluas lebih dari 26.890 M2 atau lebih dari 2,7 Hektar, sedangkan luas bangunan masjid adalah 6.400 M2 dengan ukuran 80m x 80m. Sedari awal bangunan Masjid Agung hingga sekarang tetap dipertahankan sesuai bentuk awalnya.
Al-Falah dalam bahasa arab bila di Indonesiakan menjadi Kemenangan, menang bermakna memiliki kebebasan tanpa kungkungan, mungkin filosofi itu juga yang menjadi dasar dibangunnya masjid ini dengan konsep terbuka. Agar muslim manapun bebas masuk dan melaksanakan ibadah di masjid ini.
Bagi saya, Masjid Agung Al-Falah memiliki kenangan tersendiri. Saya mendapat kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris di masjid ini secara gratis.
Ketika itu, saya masih bersekolah di Madrasah Aliyah (setara SMA). Dengan penghasilan orangtua yang pas-pasan, saya tidak berani untuk meminta kursus bahasa asing. Saat itu, untuk menutupi kekurangan biaya sehari-hari, saya dan kakak-kakak saya harus membantu usaha roti orang tua. Hampir tidak ada waktu untuk bermain-main. Jika kami tidak membantu usaha orangtua, orangtua akan kesulitan membiayai pendidikan ke-enam anaknya.