Hari ke-11 di tempat karantina pasien reaktif covid-19, tanggal 27 Mei 2020. Pagi-pagi sekali teman-teman sekamar saya sudah mulai beres-beres. Berharap hari ini bisa segera pulang ke rumah setelah tadi malam hasil pengambilan sample swab pertama diumumkan pihak karantina.
Saya yang sepanjang malam tidak bisa tidur karena suhu kamar yang panas dan kasur yang tidak nyaman, baru bisa tertidur saat subuh.
Hingga pukul 10 pagi belum ada tanda-tanda dari pihak karantina untuk membebaskan kami, 10 orang pasien yang tersisa.
Ibu MR (inisial) mulai bertanya soal kepastian pengambilan sample swab yang kedua kepada petugas. Namun petugas hanya meminta kami bersabar menunggu.
"Anakku dari kemarin sudah telpon, bahan makanan di rumah habis. Dia tidak boleh keluar karena harus karantina di rumah. Sementara ibu bapaknya dikarantina di sini. Gimana makan anakku?" ucap Ibu MR.
"Kan tadi malam sudah diumumkan kalo semua pasien yang ada di sini hasilnya negatif. Kalau tidak ada kepastian kapan swab kedua dilakukan, izinkan kami pulang dulu. Nanti kami ke sini lagi kalo petugas swab-nya datang. Kasihan anak kami," kata RS (inisial), suami MR mencoba bernegosiasi kepada petugas.
Namun petugas yang ada tetap tidak bisa mengizinkan pasien pulang sebelum pengambilan sample swab kedua dilakukan.
"Baik...kami tunggu sampai jam 1 siang ya? Kalo tidak datang juga petugas swab-nya, tolong kalian izinkan kami pulang." Ucap Ibu MR mengalah.
"Kemarin, yang 14 orang itu, setelah diumumkan hasil swab-nya negatif, boleh langsung pulang. Kita sudah dari tadi malam diumumkan, sampe sekarang masih ditahan-tahan juga tidak.biaa pulang." Pasien yang lain mulai menggerutu kesal.
Hingga pukul 13.00 WIB, belum ada juga kabar apakah swab kedua jadi dilakukan atau tidak. Tiba-tiba, seorang pasien melempar atap ruangan petugas karantina dengan batu, sambil berteriak histeris.