Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, rasanya aku nyaris tak memiliki waktu libur.
Senin sampai Jumat rutinitasku selepas ibadah subuh, mengurus keperluan makan: sarapan, makan siang dan makan malam dengan menu yang sama. Kadang, jika ingin variasi biasanya makan malam membeli lauk - pauk atau makan di luar.
Sabtu dan Ahad bebenah, ke pasar untuk keperluan seminggu. Tapi semuanya kulakukan dengan senang hati.
Sebenarnya ada asisten rumah tangga, yang secara rutin bersih-bersih rumah, cuci piring atau kupas-kupas keperluan yang akan dimasak, serta mengurus pakaian kami sekeluarga yang kini terdiri tiga orang. Si sulung bekerja di luar kota dan si tengah studi lumayan jauh, tinggallah si bungsu dan suamiku.
Begitulah, aku sering sibuk berbagai urusan rumah tangga. Merapikan lemari pakaian, lemari barang-barang, membersihkan gudang, menemani si bungsu belajar, membersihkan kamar mandi dan juga memasak. Pekerjaan itu hampir menjadi rutinitasku.
Kendati demikian, pembagian kerja itu tidak berlangsung secara kaku. Kami berbagi tugas, namun jika ada satu sama lain yang sibuk, kami saling membantu.
Kami adalah partner yang secara garis besar sudah ditentukan tanggung jawabnya, namun fleksibel dalam pelaksanaannya. Mungkin karena itu, ART kami baik-baik saja, bertahun-tahun bersama kami.
Kawanku ada kalanya bertanya, kok tidak dikerjakan pembantu saja?
Aku sering prihatin menyaksikan pekerja/asisten rumah tangga yang sering disebut pembantu itu mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah tangga.
Bahkan acap kali mereka diberi tugas tambahan, misalnya mengurus: hewan peliharaan (kucing atau anjing, ayam, bebek, burung atau kelinci dan-lain-lain), tanam-tanaman, urusan belanja keperluan rumah tangga, membersihkan kolam, mencuci kendaraan dan lain-lain. Mereka bekerja tanpa standar yang jelas.