Lihat ke Halaman Asli

Elvi Anita Afandi

FAIRNESS LOVER

Iri dan Dengki: Sumber Tidak Bahagia (Bagian 1)

Diperbarui: 17 Mei 2023   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pribadi

Sebagian manusia kesulitan menghindarkan dirinya dari jebakan sifat iri dan dengki. Iri kepada rekan yang dinilai mendapatkan keberuntungan, seperti mendapatkan pekerjaan yang diidamkan banyak orang, naik jabatan, bisa membeli barang-barang mewah, membeli atau membangun rumah, dan sejenisnya. Kemudian melanjutkan iri dengan dengki, yaitu dengan melakukan upaya tercela.

Sebagian orang menyamakan arti kata "iri" dan "dengki"  ini, namun sebagian lagi membedakannya.

Para ulama tasawuf mendefinisikan dengki adalah suatu sifat yang timbul dari dalam hati yaitu adanya perasaan tidak senang terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada orang lain dan bercita-cita agar nikmat yang diperoleh orang tersebut menjadi lenyap.

Dalam terminology Arab, istilah hasad  diartikan iri hati dan dengki. Secara semantik hasad berarti keinginan lenyapnya nikmat atau keberuntungan  dari seseorang yang memilikinya, atau perasaan benci terhadap nikmat yang diperoleh orang lain dan menginginkan agar nikmat itu berpindah tangan kepadanya.

Ada juga yang membedakan iri dan dengki seperti ini: implementasi sifat iri  berupa sikap senang melihat orang lain susah, dan susah jika melihat orang lain senang. Sementara implementasi sifat dengki adalah serangkaian wujud perbuatan dalam upaya realisasi rasa iri yang terjadi. Contohnya seperti membiarkan orang lain celaka, menjatuhkan orang lain, dan masih banyak lagi. Artinya dengki adalah kelanjutan dari iri, atau dengki adalah iri di hati yang diwujudkan dalam sikap, perkataan atau perbuatan apapun yang tidak baik. Karena ada kala orang iri, namun dia hanya sebatas tidaak suka saja, tanpa mengekspresikan rasa tidak sukanya itu dengan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang yang dia iri.

Pada era globalisasi digitalisasi dan maraknya media sosial. Keterbukaan membuka pintunya semakin lebar, kapitalisme, materialisme dan hedonisme semakin mendapatkan lahan suburnya. Ini memposisikan sikap pamer atau flexing bergeser menjadi semacam habbit atau kebiasaan, bahkan tuntutan hidup yang akhirnya menjadi gaya hidup. Media-media platform digital mendorong orang memposting aktivitasnya yang meskipun mungkin tidak diniatkan pamer akan memicu rasa iri dan dengki seseorang. Dampaknya, orang tanpa sadar menjadi saling pamer. Ruang dan peluang untuk membuka sifat iri dan sikap mendengki makin kuat. Lama-kelamaan masyarakat akan kehilangan kepekaan terhadap sikap pamer. terjadi pembenaran karena marak dan masif dilakukan banyak orang. Ekspresi dengkipun boleh jadi berpotensi sama dengan sikap iri, karena boleh jadi juga ketidaksukaan itu diekspresikan dengan sikap menjatuhkan sosok yang dia iri kepadanya.

Ada dua sikap yang menjadi manivestasi sikap iri dan dengki pada manusia.

Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya lebih jauh berpindah kepadanya. Bahkan lebih jauh lagi tidak segan-segan melakukan upaya-upaya penghilangan atau pemindahan kenikmatan tersebut dari seseorang yang ia iri atau dengki kepadanya. Dengki yang pertama ini terlarang atau haram.

 Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap dengki kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Dengan kata lain, ghibthah adalah semacam  motivasi agar seperti orang lain dalam kebaikan. Dengki jenis ini dalam hal-hal keduniawian dibolehkan, sedang dalah hal keagamaan atau ibadah dianjurkan.

Beberapa Kisah Al Qur'an tentang Orang-orang yang Dengki

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline