Indonesia tidak akan kekurangan seniman hebat dan terkenal. Terbukti, berbagai karya lahir dari tangan orang Indonesia, seperti candi, lukisan, patung, novel, lagu, ukiran dan karya seni lainnya. Dari berbagai karya anak bangsa, banyak hal dapat dipelajari. Salah satunya dari tokoh Srintil yang melakukan pengorbanan dan menjadi korban di novel "Ronggeng Dukuh Paruk".
Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk pertama kali diterbitkan tahun 1982, kemudian diadaptasi ke dalam film "Darah dan Mahkota Ronggeng" (1983) dan "Sang Penari" (2011). Pada tahun 2014 diproduksi dalam bentuk audio dengan melibatkan seniman ternama Butet Kartaredjasa. Setidaknya tidak kurang dari lima puluh skripsi dan tesis lahir dari novel ini. Hingga tahun 2012, telah dicetak sembilan kali dan diterbitkan dalam lima bahasa---Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman dan Belanda.
Kisah dalam Ronggeng Dukuh Paruk cukup pelik dan kontroversial. Novel ini mengulas praktik seksual dengan alasan menjaga tradisi dengan mengambil latar kondisi politik pasca Gestapu 1965. Kisah yang diangkat merupakan potret kehidupan masyarakat yang memegang kepercayaan mengenai ronggeng di desa Pekuncen, Jatilawang kala itu.
Dalam novel ini, dikisahkan seorang anak perempuan bernama Srintil, yang diasuh untuk menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng sebelumnya yang meninggal akibat kasus keracunan tempe bongkrek. Kasus yang juga menyebabkan banyak orang di kampung Dukuh Paruk meninggal termasuk orang tua Srintil. Demi menebus kejadian masa lalu itu, Srintil rela menjadi ronggeng. Tanpa ia tahu, pengorbanannya ini ternyata membuatnya terus menjadi korban sepanjang hidupnya.
Srintil menjadi korban pertama kali, saat ia menjalani proses menjadi ronggeng. Pada upacara puncak bernama bukak klambu, keperawanannya dijual kepada warga dalam jumlah yang besar sesuai dengan permintaan dukun pengasuh ronggeng. Praktek seperti ini telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Dukuh Paruk. Mereka percaya keberadaan ronggeng dapat mengubah kehidupan mereka yang miskin menjadi lebih sejahtera. Srintil telah menjadi korban prosesi budaya.
Srintil kembali menjadi korban, ketika ia menjalani perannya sebagai ronggeng. Hanya karena ia sering menghadiri undangan menari dari tokoh terduga PKI (Partai Komunis Indonesia), ia turut menjadi tahanan politik.
Intrik politik yang mewarnai masyarakat saat itu, mengorbankan Srintil yang hanya berusaha menjalankan perannya sebagai ronggeng. Kenyataan bahwa ia tidak pernah terlibat dalam pemberontakan PKI diabaikan semua orang. Srintil pun menjadi korban pergolakan politik. Hidupnya menjadi tidak jelas di bawah tekanan kekuasaan rezim yang berkuasa saat itu.
Tidak sampai di situ, Srintil tetap menjadi korban, bahkan setelah ia tak lagi menjadi ronggeng. Citra ronggeng yang terlanjur melekat padanya menghalanginya untuk bisa hidup bersama lelaki yang dicintainya, Rasus. Meskipun tidak lagi menjadi ronggeng, stigma masyarakat bahwa Srintil adalah "perempuan milik bersama" terus melekat. Perjuangannya untuk menyadari harga dirinya dan memperbaiki citranya menjadi jauh lebih rumit. Hingga akhir hidupnya Srintil menjadi korban dari kekekalan stigma masyarakat.
Melalui novel ini, penulis mengangkat persoalan yang kontroversial secara elegan. Ia mengulas permasalahan yang lekat dalam masyarakat dengan menyatakan sudut pandang berbeda dari bentuk ekspoitasi perempuan yang nyata terjadi. Penulis juga menyampaikan banyak kritik terselubung melalui karyanya. Ia menantang budaya eksploitasi perempuan, mengecam intrik politik yang mengorbankan masyarakat kecil, dan menyindir kebiasaan masyarakat yang selalu menyalahkan perempuan.
Karya seperti inilah yang perlu kita dorong untuk terus dikembangkan dan dibagikan kepada banyak orang. Tulisan yang mengungkapkan kegundahan hati penulis atas ketidakadilan, yang memiliki kekuatan untuk menarik perhatian terhadap permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Karya yang mampu mengubah perspektif dan pemikiran banyak orang terhadap kejadian yang pelik.
Mari bersama mendukung para penulis Indonesia yang menggunakan kemampuannya menulis untuk menjadikan dunia yang lebih baik. Seperti Dukuh Ronggeng Paruk yang berani mengulas hal-hal kontroversial, biarlah seni tulisan terus menjadi bagian dari pergerakan dan perubahan Indonesia. Semoga karya-karya tulis lainnya terus berkembang untuk mendorong masyarakat agar peka dan kritis terhadap berbagai peristiwaw dan situasi di lingkungannya.