Akhir tahun 2019 yang lalu akhirnya saya menyelesaikan studi. Januari, saya pulang kampung. Februari, sempat ke perantauan untuk sementara waktu. Maret sampai sekarang berada di kampung halaman. Ketika yang lain terjebak di rantau dalam suasana pandemi Covid19 ini, saya terjebak di kampung, tinggal di rumah keluarga, bersama anggota keluarga ini.
Saya kuliah S1 di jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, peminatan Kesehatan Lingkungan dan K3. Skripsi saya mengambil tema sampah. Namun, akhir Januari ini barulah saya mulai mengompos sampah organik. Sempat vakum pada setengah Februari dan sebulan Maret. Pada akhir April dalam bulan Ramadan ini, saya coba kembali mengompos, kebetulan kompos sebelumnya sudah bisa dipanen.
Di rumah keluarga ini, sampah yang dihasilkan lebih banyak. Teorinya, semakin banyak manusia, semakin banyak sampah yang dihasilkan -apalagi jika manusia itu tidak mengelola sampah dengan baik, tidak melakukan reduce, reuse, recycle, apapun itu namanya. Tapi, ngomong-ngomong soal sampah, apa itu yang disebut dengan sampah?
Reduce adalah mengurangi barang-barang yang berpotensi menghasilkan sampah, contohnya dengan membeli hal yang benar-benar diperlukan atau membawa wadah sendiri saat berbelanja untuk menghindari plastik sekali pakai; Reuse adalah menggunakan kembali untuk memperpanjang masa guna barang, seperti menggunakan kardus bekas sebagai komposter takakura; Recycle adalah mendaur ulang barang yang tidak terpakai menjadi barang berdaya guna, seperti mengompos.
Ada banyak pengertian "sampah". Umumnya mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa dari kegiatan makhluk hidup. Ada pula yang mengatakan, sampah itu adalah benda yang sudah tidak memiliki nilai ekonomi sehingga dibuang, atau benda yang sudah tidak berguna lagi. Saya percaya, setiap orang mempunyai pandangan masing-masing apakah suatu benda disebut sampah atau bukan.
Bagi sebagian orang, kertas bekas itu berarti sampah, bagi sebagian lainnya, kertas bekas berarti uang karena ia telah menjualnya kepada pengumpul kertas bekas, begitu pula dengan kaleng bekas, sampah elektronik, atau yang lainnya. Atau, plastik bekas dan kain perca yang disebut sampah, bagi sebagian orang dapat menjadikannya benda yang berdaya guna.
Sisa potongan sayur, kulit buah, biji-bijian, sayur dan buah yang sudah busuk, bisa saja bukan dianggap sebagai sampah, melainkan bahan yang dapat diolah menjadi produk bermanfaat. Namun bagi yang lainnya masih membuangnya ke tempat sampah dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menggelitik, dan membuat saya bertanya-tanya.
Bagaimana jika TPA tidak ada?--- elrisa thiwa nadella (@elthnad) May 7, 2020
Apakah menyatukan sampah organik dan non organik sama dengan membuang sampah pada tempatnya?--- elrisa thiwa nadella (@elthnad) May 7, 2020
Bagaimana jika rumah tangga mengelola sampah organik? Truk pengangkut sampah tidak seharusnya bau, bukan?--- elrisa thiwa nadella (@elthnad) May 7, 2020
Pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepala. Sebuah imajinasi hidup dalam harmoni. Sampai kapan kita abai, sementara kita tahu kalau yang kita lakukan mendatangkan mudarat? Atau kita tidak benar-benar tahu? Bahwa sampah di TPA itu benar-benar akan menjadi bom waktu? Bahwa sampah-sampah itu dapat membahayakan manusia dan makhluk lainnya? Merasa bersih, tapi kotor?