Lihat ke Halaman Asli

Eltania Suryani Frans

ordinary person

Meniti Guratan Luka Kekhalifahan Utsmaniyah

Diperbarui: 2 November 2019   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

opinimahasiswa.com

Didirikan oleh Osman Ghazi pada akhir abad ke-13, Khilafah Utsmaniyah pada saat itu hadir sebagai dinasti yang menyaingi kekaisaran besar Bizantium yang memiliki wilayah di Asia kecil dan semenanjung Balkan. Tetapi setelah Mehmed II (Al Fatih) menaklukan kota konstantinopel, Kesultanan Utsmaniyah kemudian muncul sebagai kekuatan terbesar di seluruh wilayah Mediterania.

Konstantinopel yang setelahnya berganti nama menjadi Istanbul, menjadi ibukota Kesultanan Utsmaniyah, yang dengan cepat melakukan perluasan daerah taklukannya. Pada tahun 1516, Salim I berhasil mengalahkan kekaisaran Mamluk yang berpusat di Kairo, dan menambahkan Suriah, Mesir, serta Provinsi Hijaz  di laut merah kedalam wilayah kekuasaannya.

Tidak hanya sampai disitu, pada tahun 1529 di masa Sultan Suleiman Agung (Suleiman Al Qanuni) yang merupakan sultan ke-10 Daulah Utsmainyah, tiba di gerbang Wina-yang dengan cepat menebarkan kengerian ke seluruh Eropa. Kekhalifahan Utsmaniyah terus bekembang luas hingga upaya penyeranganya atas Wina yang pada 1683, pada masa ini Kekhalifahan terdampar di 3 benua yang mencakup semenanjung Balkan, Asia Kecil (yang dikenal sebagai Anatolia oleh orang Turki), Laut Hitam, dan sebagian besar tanah Arab mulai dari Irak hingga perbatasan Maroko.

Namun selama dua abad berikutnya, Khilafah Utsmaniyah mulai kehilangan wilayah kekuasaannya. Di tahun 1876 kebencian publik eropa meningkat akibat berita penindakan separatis Bulgaria oleh tentara Khilafah yang disebut dengan "Horor di Bulgaria" oleh pers Barat. Pemimpin kelompok liberal, William Gladstone, memimpin pernyataan pengutukan pemerintah Inggris terhadap Turki, di samping itu peperangan dengan Rusia semakin mengintai. Di tahun yang sama pula Sultan Abdul Aziz yang telah memerintah selama 1821-1876, digulingkan oleh pejabat reformis yang kemudian kurang dari seminggu ditemukan tewas di kamarnya dengan pembuluh darah pada pergelangan tangannya disayat, hingga kematiannya disebut bunuh diri. Penggantinya Murad V, meninggal akibat depresi setelah 3 bulan menduduki takhta.

Dengan latar belakang pemerintah yang sedang carut marut inilah Sultan Abdul Hamid II memegang tampuk kekuasaan di usianya yang terbilang muda, 33 tahun pada 31 Agustus 1876.

Sejumlah menteri di kabinet yang berkuasa menekan Sultan baru untuk mengumumkan konstitusi liberal dan membentuk parlemen yang berisi anggota yang beragama Islam, Kristen, Yahudi sebagai bentuk pencegahan campur tangan Eropa lebih lanjut ke dalam urusan negeri Utsmaniyah. Abdul hamid mengikuti tuntutan ini karena alasan pragmatisme, bukan karena meyakini ini keputusan terbaik. Pada maret 1877 dia membuka sesi pertama parlemen, namun tak lama setelah pertemuan parlemen, Utsmaniyah terlibat perang dengan Rusia yang berakhir buruk.

Rusia melihat dirinya sebagai penerus Bizantium dan pemimpin spritual gereja Ortodoks Timur. Rusia ingin berekspansi, mereka menginginkan Ibu Kota Utsmaniyah, yang hingga 1453 menjadi pusat Kristen Ortodoks dan ibu kota Bizantium, Konstantinopel.

Sejumlah kekuatan besar eksternal juga terus menggerogoti wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah, di tahun 1878 dan 1882 Inggris berhasil merebut Siprus dan Mesir. Prancis menduduki Tunisia di tahun 1881 yang sebelumnya juga telah berhasil merebut Aljazair di tahun 1830, dan pada tahun 1877 Rusia menyatakan perang dengan Utsmaniyah yang kemudian berhasil mencaplok tiga provinsi sekaligus di daerah Kaukasus pada tahun 1878. Sebagai buntut kekalahan atas Rusia pada 1878, khilafah Utsmaniyah menderita kerugian teritorial yang sangat besar dalam perjanjian damai yang dilakukan di kongres Berlin (Juni-Juli 1878). Khilafah utsmaniyah kehilangan dua perlima dari wilayahnya. Dan seperrlima penduduknya di Balkan dan Anatolia timur.

Tidak hanya karena tantangan eksternal, pada awal abad ke-19 Daulah Utsmaniyah mulai kehilangan wilayahnya karena sejumlah gerakan nasionalis baru yang muncul di provinsi Balkan. Yunani merupakan negara pertama yang berupaya menyatakan kemerdekaannya setelah 8 tahun berperang melawan Utsmaniyah. Rumania, Serbia, dan Montenegro merebut kemerdekaanya di tahun 1878 yang kemudian disusul oleh Bosnia, Herzegovina dan Bulgaria yang berhasil mendapatkan otonominya sendiri di tahun yang sama.

 Hilangnya sejumlah wilayah ini meyakinkan Sultan Abdul Hamid II untuk memerintah Khilafah Utsmaniyah dengan tangan besi, demi melindunginya dari pembagian lebih lanjut oleh negara-negara Eropa yang ambisius. Namun, gaya otokratis Abdul Hamid akhirnya mendorong munculnya gerakan oposisi yang semakikn terorganisir. Turki Muda adalah koalisi yang terdiri dari beberapa pihak berbeda yang terikat oleh tujuan yang sama yakni membatasi absolutisme Abdul Hamid, memulihkan aturan konstitusional dan mengembalikan demokrasi parlementer. Diantara pihak yang paling menonjol di bawah payung Turki Muda adalah Partai Persatuan dan Kemajuan (CUP), sebuah kelompok rahasia yang terdiri dari warga sipil dan militer yang terobsesi oleh liberalisme barat.

Organisasi Turki Muda berusaha mengontrol revolusinya melalui parlemen Utsmaniyah. Pada paruh abad ke 19, para pemuda terpelajar Utsmani benar-benar telah terpengaruh oleh Revolusi Perancis yang telah mewujudkan pemerintahan yang demokratis, serta menghadirkan paham-paham nasionalisme, sekulerisme, dan pembebasan dari pemerintahan personal. Mereka juga terpengaruh oleh gerakan Nasionalisme Italia yang dipimpin oleh Giuseppe Mazzini berikut dengan sistem-sistemnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline