Lihat ke Halaman Asli

Eltania Suryani Frans

ordinary person

Tumpul ke Atas Tajam ke bawah, Potret hukum Indonesia

Diperbarui: 24 Juli 2017   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir akhir ini wajah media  Republik Indonesia ramai dihiasi oleh masalah penegakan Hukum di Indonesia yang sepertinya semakin tak memihak masyarakat kecil, mereka tidak mendapatkan keadilan di mata hukum,  suara rakyat kecil terus  meneriakkan keadilan yang tidak berpihak kepadanya, Bagaikan jarum dalam sekam, begitulah mungkin pepatah yang pas untuk menggambarkan bagaimana sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses keadilan di negeri ini. Masyarakat miskin kerap kali menjadi korban penegakan keadilan.” Jika si miskin melaporkan kehilangan ayam ke kepolisian, maka Ia akan kehilangan sapi”.  Pernyataan inilah yang semakin mencederai rasa keadilan pubik.

Sebegitu mudahnya kah? Hukum ini dibeli oleh kertas rupiah fana yang banyak dimiliki kantong-kantong pejabat dan konglomerat? tengok saja kasus para koruptor yang nyata nyata merugikan Negara, tetapi ketika di muka persidangan mereka hanya divonis maksimal 5 tahun, atau mungkin hanya beberapa bulan saja main-main di hotel prodeo kelas bintang. Duduk menganggur cekikikan yang semakin membuatnya betah-betah saja. Mereka bahkan tidak malu lagi saat diliput media tanpa tedeng aling-aling masih bisa menebarkan senyum dan tawa yang innocent kepada masyarakat, seolah olah jadi artis baru. Dan bagi mereka yang berani "merogoh" kantong dalam-dalam untuk seseorang yang-dianggapnya paling adil di dunia ini, bisa mendapatkan hadiah untuk bebas bernafas diluaran, tanpa perlu repot dan takut kehilangan pamor dan pangkatnya.

Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia yang mengaku sebagai negara Hukum, masih perlu dipertanyakan. Motto bahawa setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum belum memiliki bukti yang presisi hingga saat ini. Akhirnya, hukum positif negeri ini terlihat begitu “tumpul ke atas tajam kebawah” dan lebih berwajah penindas daripada “pendidik” dan “pembimbing” yang seyogyanya dapat mengantarkan manusia pada hidup yang lebih bahagia. Hukum dilahirkan bukan untuk sang pembuat hukum, melainkan untuk terwujudnya keadilan demi kebahagiaan seluruh umat manusia sesuai sila pada dasar negara kita-Pancasila.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline