Oleh :Elsya Crownia*
Iklan, beragam bentuknya, menjadi saranauntukmemperkenalkan suatu produk kepada khalayak ramai. Dengan kelihaian dan trik-trik tertentu, produksenmemiliki caranya masing-masing dalam mengemas suatu iklan sehingga akan menimbulkan kesanpositifagar dapat mensugestikhalayakagar mengkomsumsi produkyang telah diiklankan.Melalui produk yang dipromosikan, iklanmerepresentasikan sesuatu. Iamenjadi sarana pengantar makna yang ingin disampaikan oleh produksen ke konsumen. Melalui strukturyang membangun iklan, dapat dilihatmerepresentasikan apa iklan yang bersangkutan.
Representasi adalah proses dimana makna yang diproduksidan dipertukarkan antara anggota dan budaya (Hall, 2003). Dalam kehidupannya manusia selalu melakukan proses representasi untuk memberimakna pada semua hal yang berada disekitarnya, baikmanusia maupun benda, objek, atau kejadian. Makna ini dipertukarkan melalui bahasa. Demikian pula halnya dengan iklan. Makna yang dipertukarkan kepada manusia melalui bahasa iklan. Oleh karena itu satu hal yang penting adalahagarproses representasi berhasil maka masyarakat yang bertukar maknaharus memiliki latar belakangbudaya yang sama.
Representasi berkaitan erat dengan dengan identitas karena ketika eksistensi atau keberadaan seseorang dimaknai oleh lingkungannya, berarti lingkungan memberi identitas tertentu kepadanya. Orang yang memiliki identitas tertentu tersebut menjadi representasi dari kelompok masyarakat tertentu pula. Oleh karena itu, dengan memberi makna pada eksistensi seseorang atau sekelompok orang berarti masyarakat telah mengkontruksikan identitas tertentu pada orang atau sekelompok tertentu. Perengkontruksian tersebut dilakukan oleh iklan.
Konstruksi yang paling melekat dalam masyarakat adalah konstruksi identitas gender. Identitas maskulin dan feminim dikontruksi sedemikian rupa sehingga terlihat bahwa sifat maskulin dan femininmerupakan sifat alamiah laki-laki dan perempuan. Apa yang dianggap maskulin belum tentu feminine dan sebaliknya. Jika terdapat perbedaan tingkah laku terhadap apa yang direkontruksikan maka akan muncul streotip-streotip negative yang dilekatkan kepada pihak tertentu.
Seiring berkembangnya zaman, terutama terkait munculnya gerakan feminis, identitas genderyang membedakan antara feminism dan maskulinitas sangat tegas perlahan melebur dan kehilangan batasan yang jelas. Para pria kembali mempertanyakan kemaskulinitasan mereka. Hal ini kemudian mengakibatkan timbulnya nilai-nilai maskulinitas baru yang diusung oleh pria-pria yang mengklaim diri mereka sebagai pria modern. Masyarakat, melalui media seperti ini merepresentasi melalui media terutama iklan, merepresentasikan dan memberikan identitas kepada pria-pria jenis ini.
Iklanmemang mempunyai ragam dimensi; mulai dimensi estestis, yang ada kalanya diambil darimakna simbolis maupun citra-citra tertentudalam struktur sosial masyarakat, secara konotatiftak jarang mempunyaifenomena kode sosial yang mencerminkan bias-bias ideology gender. Hal ini dinterpretasikan dari pengorganisasian watak ikonikdisamping petanda (signifiant) akan juga sekaligus berfungsi sebagai kesatuan petanda (signifier). Bahkan tak jarangpula kesatuan petanda tersebut dibentukuntuk memaknakan citra yang mengadopsi simbol-simbol, stereotip, serta nilai-nilai budaya (hegemoni kultural)yang terdapat dalam masyarakat. Disamping itu, eksistensi ideologi feminis memang sering digaungkan untuk merekontruksi, meredifinisi, ataupun mengeliminasi dominasi laki-laki (patriarchal ideology), sekaligus mengangkat atau mereaktualisasikan peran perempuan dalam kontruksisosial. Kendati demikian diskursus sosial ini, meskipun mengalami suatu pencerahan, masih sedikit terhambat oleh hegemoni ideology semacamnilai budaya konstruksi sosial. Secara ‘naturalis’ hal ini diperteguhmelalui berbagai aspek seperti kebijaksanaan politik, ekonomi, sosial, industrialisasi, dan pendidikan diinternalisasikan. Salah satu media untuk melestarikannya adalah melalui media massa yang kerap menampilkan cerminan kode-kode sosialterhadap perilaku sosial. Pelestarian ideologi gender menurut Judith Williamson menyatakan bahwa periklanan sendiri merupakan salah satu faktor budaya yang sangat penting, yang membentuk dan mereflesikan kehidupan manusia sehari-hari. Mereka adadimana-manayang merupakan bagian dari kehidupan manusia yang takdapat dipisahkan. Dengan demikian secara implisit akan mencerminkan pula pola hubungan manusia dalam kehidupan sosial. Dari perilaku sosial ini secara referensial dapat terbuka berbagai macam penafsiran (opera aperta) dimana penafsiran tersebut menyentuh bias gender. Domestika sendiri meskipun belumbisa dikatakan upaya sebagai marginalisasi kaum perempuan, telah dianggap sebagai bagian bahwa ‘merumahkan’ atau dengan kata lain hanya berkutat dalam ranah domestik. Sebagai contoh adalah fenomena iklan televisi untuk keperluan rumah tangga. Dalam iklan tersebut secara konotatifmencerminkan adanya pernyataan ideologis yang menyiratkan perempuan menjadi ukuran kenikmatan, kenyamanan, kesabaran maupun kasih sayang, yang mungkin kurang tergantikan oleh kelamin lain.
Beberapacontoh representasi iklan televisi yang menunjukkan gambaran dimana perempuan dijadikan objek komoditi, sekaligus subjek gender. Sebagai objek, perempuan telah menjadi fenomena komiditi, sebagai efek citraan yang dimaksudkan untuk menambah daya tarik sexisme yang akan mendongkrak nilai intrinsik suatu produk. Perempuan ditempatkan sebagai unsure estetis yang diharapkan dapat mengangkat kualitas komoditi/produk sekaligus sebagai ‘komoditi fetis’ terhadap komoditi/produk. Di sisi lainperempuan juga dijadikan sebagai subjek genderyang ditujukan pada penciptaan idealisasi peran yang sesuai dengan pemanfaatan atau penggunaan produk. Denganberbagai ragam kemudahan, kepraktisan ataupun instantlain yang ditawarkan oleh suatu produk, perempuantelah dijadikan identifikasi subjek yang diharapkan betah dan nyaman mengelola ranah domestik.Dengan visualisasi iklan yang menggambarkan keharmonisan, keserasian, kasih sayang memperteguh perempuan sebagai subjek gender yang tidak dapat dipisahkan dari ranah domestik.
Interprestasi tentang subordinasi tak jarang bisa ditampakkan pada representasi iklan televisi. Tubuh perempuan telah dicendrungkan menjadi alat persuasi untuk menjual suatu produk, seperti permen tango, obat sakit kepala, suplemen, susu non fat, iklan hi-lo, dan sejenisnya yangmemberikan daya tarik erotis pada suatu produk. Subordinasiselain menunjuk pada eksploitasi tubuh juga merujuk pada interprestasi yang masih menomorduakan aktualisasi perempuan dalam peran publik. Misalnya untuk menjual kartu celluler, tak jarang perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat, bahwa perempuan lebih tepat untuk ditempatkan pada di posisidepan yang tidak mempunyai jabatan strategis. Dalam hal ini, sesungguhnya perempuan adalah korban. Di satu sisi mereka dijadikan sebagai alat dalam proses distribusi produk dan budaya hidup. Kecantikanmisalnya, mengapa perempuan perlu mengurus tubuh, wajah, kulit, dan lainnya. Siapa yang menentukan ukuran-ukuran kecantikan atau daya tarik perempuan?. Pasar dalam hal ini menjadi institusi patriaki yang telah mereproduksinilai seorang perempuan dengan sifat-sifat perempuan yang diturunkan oleh ideologis patriaki. Kapitalisme pun ikut mendorongdan sangat menentukan kontekspengelolaan tubuh perempuandan membuatukuran-ukuran kualitas kecantikan, sehingga perempuan disini menjadi alat kapitalisme produk dan menjadi sasaranpasar yang sangat potensialbagi produksen, bahkan mungkin secara tidak lansungmendorong terciptanya etoskomsumtif dalamkehidupan perempuan yang cendrung mengindentifikasikan dirinya sebagai individu yang layakmenjadi tampilan dalam kehidupan sosial.
Subordinasi lainnya ada kalanya menimbulkan streotipika yang ada dalam interaksi sosial. Streotipe yang menyatakan perempuan baik adalahperempuan yang harus bisa menjadi istri, ibu rumah tangga yang baik, pada dasarnya diturunkan ideologis patriakiyang telah menjadi hegemoniideology yang telah dilegetimasikan dalam norma kultural.Pernyataan streotipe yang cendrungmensubordinasi perempuan untuk tidak aktifmemasuki arena public ini memang kurang mendapat resistensidari kaum ‘feminis’ sendiri. Kemungkinan besarhal ini telah menjadi semacam ideologiyang layak diinternalisasikan oleh kaum perempuan, ataupun adanya keengganan untuk merubah peran sosialagar tidak menjadi disequiberilium terhadap role expectation yang ada dalam struktur sosial.
Disamping itu, nuansa pensifatan manusia juga secara tidak lansungmembawa implikasi kepada arah penajaman akan interprestasi dua diterminansi, yaitu bagaimana menyatakan kejantanan, maskulin, halus, sabar, dan lain lain. Representasi iklan suplemen ‘ Extra Joss’ misalnya, dalam tayangan iklan tersebut harus disertai pernyataan pengakuan dari seorang perempuan. Begitu pula dengan komoditi jamu sehat lelakiyang selalu ditampilkan figure perempuan sebagai pengakuan kejantanan. Pada iklan Nivea, makna maskulinitas baru direpresentasikan melalui penggunaan model yang memiliki ciri yang sangat lembut dan terawat. Hal inimenciptakan keyakinan bahwa penampilan maskulin kini adalah penampilan bersih, lembut, dan terawat. Penghadiran model wanita dalam iklan juga menjadi representasi dari maskulinitas terbaru bahwa pria yang memperhatikan keinginan dari pasangannya. Dengan kata lain, memperhatikan penampilan bukan hanya untuk menciptakan citra positif dalam kehidupan professional melainkan juag kehidupan sosial. Dalam iklan L’oreal, maskulinitas jenis baru direpresentasikan oleh Mathew Foxyang menjadi model iklan. Melalui sosok dan karakter yang ia perankan dalam drama seri film Hollywood, ia merepresentasikan nilai-nilai maskulinitas yang kini diyakini oleh pria-pria metroseksual. Melalui pembawaan dirinya yang lembut, cool, dan dapat diandalkan.Dan iklan L’oreal Vita Lift, yang direpresentasikan oleh Pierce Brosnan sebagai model iklan. Sosoknya dianggap sebagai proto-metroseksual yang mendukung pencitraan yang ingin diproduksi dan direpresentasikan bahwa sosok Brosnan yang membawa ‘kemachoan’ jenis barudan menjadikan sebagai role model baru untuk pria baru untuk pria dalam kehidupan maskulinitas modern. Melalui produk-produk yangdibahasakan dalam iklanmaka akan terbentuk identitas dari priayang menjadi konsumen produk ini. Dengan adanya iklan maka konsep maskulinitas pria akan mengalam pendefinisian ulang dan untuk saat maskulinitas yang diyakini adalah maskulin yang dibawa melalaui citra-citra suatu produk yang diiklankan.
Sedangkan iklan sabun mandi, iklan lotion, dan iklan parfum mengindentikkan dengan perempuan yang digambarkan dengan kehalusan, yang divisualisasikan melalui penampakkan bagian-bagian tubuh yang hamper semuanya mempunyai nilai fetis terhadap kosmologi patriaki. Bahkan untuk menciptakan estetis karya , ada pula iklan yang digambarkan secara arbiterari seperti iklan produk otomotif (Suzuki Baleno), produk televisi Samsung ( yang menonjolkangerakan erotik dari bagian tubuh perempuan), permen Tango (tarian Tango yang identik dengan tarian erotik), dan mungkin masih banyak lagi perempuan dijadikan sebagai objek komoditasuntuk menambah daya tarik suatu produk.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H