Lihat ke Halaman Asli

Diferensiasi antara tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan realitas

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ingin pintar harus punya uang” tutur seorang mantan rekan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya yang harus bekerja membantu perekonomian keluarga setelah lulus pendidikan jenjang menengah itu. Persepsi ini  terus mengiang-ngiang di kepala saya dan membuat saya bertanya-tanya apakah benar adanya seperti itu dalam acuan penyelenggaraan pendidikan?

Bagaimana mungkin kita selama ini terus melanggengkan keberlakuanlembaga  pendidikan yang berlabel Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang mana apabila kita kritisilebih jauh hal tersebut tak ubahnya sebuah merekbagi sekolah-sekolah tertentu yang memang sejak dari dulu sudah memiliki tradisi bagus, baik dari standar kompetensinya maupun lulusan-lulusannya, yang kemudian ingin mengkomersialisasikan pendidikan dengan cara memungut biaya pendidikan yang jauh lebih mahal daripada sekolah-sekolah berstatus Negeri. Ini jelas pembodohan namanya! Bagaimana tidak? Sekolah-sekolah tersebut memungut tarif pendidikan yang relatif tinggi tetapi tetap memperoleh subsidi setiap tahunnya.Terlebih lagi apabila kita menilik Sekolah-sekolah Menengah Atas (SMA) yang berlabel SBI setiap tahunnya memperoleh perlakuan istimewa dengan menerima jatah masuk Perguruan Tinggi melalui SNMPTN tidak tertulis (yang dikenal dengan SNMPTN Undangan)  dengan kans yang besar.

Hal seperti ini jelas melanggar baik apa yang terkandung di dalam UUD NRI 1945 yaitu dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, maupun apa yang diamanatkan Pancasila sila kelima yaitu melanggar keadilan dalam upayanya untuk menjangkau pendidikan bagi anak yang pintar tetapi kurang mampu kondisi ekonominya dan finansialnya.

Apabila kita melihat survei yang ada seperti yang diwartakan Jaringnews.com penduduk Indonesia yang buta huruf jumlahnya masih mencapai 6,7 juta jiwa. Ini memarjinalisasi masyarakat yang tidak mampu namanya, jelas tidak mengherankan munculnya stigma di masyarakat “pendidikan itu mahal” dan lebih parahnya tidak sedikit masyarakat yang berasumsi “daripada sekolah keluar duit lebih baik langsung kerja, bantu-bantu keluarga”. Hal seperti ini malah menghilangkan esensi pendidikan itu sendiri, ini yang seharusnya menjadi pokok persoalan pendidikan kita.

Perlu adanya penindaklanjutan yang serius terkait masalah ini, putusan MK saja belum cukup, revisi UU Pendidikan yang ada sangat diperlukan karena masyarakat membutuhkan payung hukum yang tegas agar hak-haknya untuk memperoleh pendidikan benar-benar terlindungi secara adil, maka dari itu materi revisi harus mengakomodasi kesetaraan mengenyam pendidikan bagi masyarakat.

Perlu adanya penekanan secara prinsip dimana pungutan kepada siswa terlarang dalam bentuk apapun. Standar kompetensi dalam penyelenggaraan kurikulum dan kualitas tenaga pengajar perlu ditingkatkan demi mencapai proses terciptanya kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.

Melalui proses ini diharapkan Pemerintah dapat lebih menjangkau hak-hak atas pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu dan meningkatkan kualitas pendidikan yang penyelenggaraannya dapat dirasakan semua elemen masyarakat dengan berdasarkan keadilan dalam upaya “memerangi kebodohan dan pembodohan”. Maju terus Pendidikan Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline