Lihat ke Halaman Asli

Menakar Demokrasi: Sebuah Perspektif Anarkis

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Belakangan terjadi kesalah pahaman mendasar perihal bagaimana anarkis memahami demokrasi. Secara tegas, anarkis bukanlah prodemokrasi atau sekadar penyokong demokrasi-langsung maupun jenis demokrasi radikal lainnya. Demokrasi sebagai suatu konsep modern mengenai pemerintahan politik, yang mendasari konsepnya melalui “aspirasi kekuasaan politik mayoritas”, bukanlah sesuatu yang anarkis. Dengan diiringi riuhnya ajang Pesta Demokrasi, banyak kaum radikal terbelit gaung kaum kiri nasional untuk bepartisipasi bersama elit-elit politik, untuk “merayakan demokrasi”, bahkan beberapa anarkis menganggap diri mereka sebagai aktivis pro demokrasi. Dalam situasi demikian, penting untuk menyebarkan tulisan ini sebagai suatu kritik total atas demokrasi-dalam bentuknya yang langsung maupun yang terwakili.


Definisi Demokrasi

Demokrasi merupakan sebuah teori pemerintahan di mana hukum, dalam pengertian luasnya, merefleksikan keinginan mayoritas yang ditentukan melalui pemilihan baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Secara umum, demokrasi terlegitimasi melalui pengadopsian suatu konstitusi, yang melegalisasikan aturan-aturan mendasar, prinsip, tugas, dan kekuasaan dari pemerintah serta aturan dan hak individual terhadap pemerintah. Aturan yang disebut terakhir diadakan untuk melindungi individu dari kekangan mayoritas “demokratis”, sebuah konsep yang dikembangkan oleh republikanisme selama digulingkannya monarkisme.

Alienasi

Cukup penting untuk mengangkat masalah alienasi bila hendak mengkritik demokrasi. Pertama-tama, mari pahami kritik umum anarkis terhadap alienasi. anarkis membedakan kritiknya mengenai persoalan alienasi dengan cara menekankan pada suatu hubungan yang tidak terpisahkan dari pikiran dan tindakan, antara gairahdan pemenuhan bebas. Kalangan anarkis menolak setiap proses kemasyarakatan yang memisahkan keterkaitan-keterkaitan tersebut, seperti konsep kepemilikan pribadi, perdagangan, divisi kerja, dan demokrasi.

Gairah dan hasrat hanya dapat terpenuhkan ketika keduanya menjadi kekuatan yang nyatadi dalam hidup. Dalam kondisi alienasi, bagaimanapun, kedua hal tersebut terkekang oleh kondisi bahwa eksistensi hidup seseorang tidak berada di dalam kontrol dirinya sendiri. Jika demikian, maka impian hanyalah diperuntukkan bagi para pemimpi, lantaran hasrat seseorang tidak berada dalam situasi yang memungkinkan orang tersebut untuk melakukan tindakan. Dalam kondisi ini, ketika seseorang kehilangan koneksi antara gairah dan hasrat yang menggerakannya, cukup tidak mungkin untuk melakukan tindakan mengambilalih kontrol hidupnya dan orang tersebut pun terjebak dalam pasifitas. Sehingga keinginan untuk merubah kondisi material yang menyebabkan alienasi tersebut terjebak dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Dengan demikian, masyarakat terbagi menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang teralienasi, yang kapasitas untuk mengkreasikan hidup sesuai keinginan mereka sendiri telah direnggut. Kedua, mereka yang memegang kontrol atas segala prosesalienasi, yaitu mereka yang mengambil keuntungan dari pemisahan tersebut dengan mengakumulasi dan mengontrol energi-energi yang teralienasi untuk mempertahankan tatanan dan peranan mereka sebagai penguasanya. Sebagian besar individu maupun kelompok berasal dari masyarakat kategori pertama. Sementara itu, para tuan tanah, majikan, dan politisi berada pada kategori kedua.

Jadi, singkat kata, para anarkis menentang demokrasi. Karena eksistensi demokrasi mempertahankan pemisahan yang hendak dihapuskan oleh kalangan anarkis. Demokrasi hanya berguna untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan yang teralienasi. Demokrasi membutuhkan kondisi di mana keinginan dan kekuatan orang-orang menjadi terpisah. Hal tersebut tidak berbeda dengan pengandaian bahwa seseorang mentransfer kedaulatan bebasnya pada aparatus negara terpilih atau pun “mayoritas”. Hal ini terjadi lantaran dalam kondisi alienatif semacam itu, kapasitas seseorang untuk menentukan kondisi hidupnya sendiri, dalam relasi dan kerjasama yang bebas dengan orang-orang di sekitarnya,  menjadi dikekang.

Ada pembedaan penting di sini. Partai memiliki kepentingan politik dalam klaim mereka untuk mewakilkan kepentingan orang banyak. Pada dasarnya orang banyak tersebut adalah “yang lain” (the others). Ini merupakan klaim atas kekuasaan yang teralienasi. Jika seseorang mengklaim kekuasaan untuk mewakilkan orang banyak, maka orang yang diwakili tersebut telah terpisah dari kebebasannya untuk bertindak. Dalam pengertian ini, anarkis besikap anti politik. Anarkis tidak tertarik dengan klaim-klaim berbeda dari kekuasaan yang teralienasi. Baik itu dalam bentuk kepemimpinan yang berbeda atau perwakilan yang sekadar memutarbalikan dan merias kekuasaan yang teralienasi. Ketika seseorang mengklaim memiliki kekuasaan atas diri orang banyak atau menjadi pembebas orang banyak, segera kondisi alienatif tercipta. Hal sepertiini ditolak para anarkis. Para anarkis berprinsip anti politik karena tertarik dengan swaorganisasi dari setiap individu. Keteguhan dari swaorganisasi ini sama sekali bertentangan dengan demokrasi dalam berbagai macam bentuknya.

Dekontekstualisasi Sebagai Suatu Bentuk Alienasi

Kritik anarkis terhadap alienasi berkaitan dengan masalah dekontekstualisasi. Dalam demokrasi keputusan menjadi sesuatu yang asing dari konteks yang mengangkatnya. Demokrasi membutuhkan hukum, aturan, dan keputusan yang dibuat terpisah dari keadaannya yang nyata. Hal tersebut mengandaikan pemaksaan individu ke dalam peranan-peranan yang telah ditentukan sedemikian rupa, dan bukannya mempersilakanmereka menentukan secara bebas dalam berbagai konteks yang sesuai bagi mereka.

Permasalahan yang dialami berbagai masyarakat dan individu menjadi isu-isu yang kehilangan konteksnya, karena isu-isu tersebut pun harus mengikuti aturan demokrasi. Sehingga, pelbagai permasalahan menjadi urusan hitam-putih, benar-salah, dan bukan dipahami melalui konteks kemunculan masalah tersebut.

Polarisasi

Demokrasi juga menuntut pentingnya “opini-opini” tunggal. Pemilih hanya menjadi penonton di dalam suatu proses demokrasi. Mereka telah disajikan berbagai opini untuk dipilih. Semua proses demokrasi yang ada merupakan skenario dari pihak-pihak yang memiliki (akses kepada) kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari slogan dan reduksionisme yang muncul setiap kali seorang calon politisi atau orato mereduksi ide menjadi sekadar enak didengar. Tindak memilih dalam demokrasi sangat menyerupai sistem ekonomi kapitalis. Keduanya, demokrasi dan kapitalisme, senantiasa berjalan berdampingan. Ada produser yang mendikte agenda, dan ada konsumen sebagai penontonnya yang memilih opini dari pasar ide yang telah ditentukan. Pilihan-pilihan ini pun menjadi suatu ajang permainan kompetitif, dan pada akhirnya “pemenang” dan “yang kalah” ditetapkan. Logika polarisasi semacam inilah yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Masyarakat yang terlibat sebagai penonton maupun para “pengorganisirnya” saling mendebatkan argumen mereka perihal pemimpin atau partai yang paling prorakyat. Bahkan, jika ditinjau melalui bagaimana seharusnya demokrasi terwakilkan berjalan, polarisasi menciptakan logika menang/kalah. Pada akhirnya, keputusan-keputusanlain yang bisa saja berujung kompromi atas isu yang diperdebatkan menjadisesuatu yang janggal. Atau singkatnya, dengan polarisasi pemikiran semacam ini,cukup sulit bagi masyarakat untuk berpikir di luar dari kotak pemilihan dan memahami isu yang sebenarnya mereka hadapi.

Mayoritas

Terlepas dari berbagai masalah di atas, demokrasi juga memiliki kekurangan mendasar, khususnya pada konsep “mayoritas”. Dengan senantiasa menerima “aspirasi mayoritas”, demokrasi memperkenankan tirani mayoritas atas segala sesuatu. Ini berarti, dalam konteks demokrasi, pemenang yang memutuskan semuanya. Kaum minoritas, atau pihak kalah, tidak punya hak untuk membuat pengaruh atas setiap keputusan. Jika dianalisa secara mendalam, kenyataannya menjadi berbeda. Mayoritas yang ada bukanlah mayoritas sebenarnya dari suatu populasi, melainkan hanya bagian dari kelompok terbesar dari banyaknya minoritas.

Dengan menyediakan ilusi mengenai partisipasi semua orang, demokrasi memperkenankan mayoritas untuk membenarkan tindakan mereka, tidak terkecuali tindakan tersebut sangat menindas. Semenjak demokrasi membawa klaim bahwa semua orang dapat berpartisipasi dalam proses politis, memberi suara pada minoritas bukanlah sesuatu yang membahayakan. Ketika minoritas tersebut kalah suara, maka akan membuat mayoritas yang menang lebih mempunyai legitimasi untuk bertindak semaunya. Sama halnya ketika individu menjadi golput, setiap tindakan mereka pun masih bisa di interpretasi sebagai suatu persetujuan dari aspirasi mayoritas. Karena, individu-individu telah diberi hak untuk memilih namun tidak menggunakannya. Tak ada jalan keluar lain. Lingkaran setan!

Dengan cara demikian logika mayoritas tidak dapat digunakan untuk menghancurkan status quo. Dalam kata-kata Enrico Malatesta, anarkis Italia dari abad 19.

“Fakta bahwa memiliki mayoritas pada satu sisi bukanlah tolak ukur bahwa seseorang itubenar. Malahan, kemanusiaan selalu berkembang melalui inisiatif dan usaha individu-individuserta minoritas, yang mana mayoritas, lumrahnya lamban, konservatif, dan patuhpada kekuatan yang lebih tinggi dan untuk memapankan keistimewaan-keistimewaan.”

Kritik Imanen

Perlunya kritik imanen untuk memahami betapa rentannya demokrasi terhadap demagogi,lobi-lobi, dan korupsi. Demagogi merupakan strategi politik untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan retorika dan proganda agar dapat menangkap impuls reaksioner dari suatu populasi. Hampir setiap bentuk demokrasi berakhir menggunakan cara ini untuk mengambil kesempatan meraih persetujuan mayoritas.

Hal ini pada akhirnya menciptakan persetujuan melalui rasa takut, harapan, amarah, dan kebingungan publik. Lobi-lobi merupakan sesuatu yang sangat rentan di dalam demokrasi representatif. Kelompok-kelompok ekonomi elit biasanya punya pengaruh besar didalam membujuk, mengancam, atau menyuap para “perwakilan politik” untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karena itu, orang dapat melihat bagaimana menteri maupun anggota DPR adalah juga kaum pemodal. Dalam demokrasi representatif, di mana partai yang terkuat dipahami sebagai partai yang memiliki banyak modal, bukanlah aspirasi mayoritas yang diperhitungkan, tapi aspirasi modal terbanyak. Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mengherankan bila lobi-lobi pengusaha yang segelintir itu lebih kuat daripada keluhan beberapa ratusan juta orang dalam memengaruhi kebijakan.

Meski telah mengetahui masalah-masalah barusan, para anarkis tidak tertarik dalam mengajukan perbaikan atau reformasi dalam sistem demokrasi. Tidak ada jalan perubahan dengan hanya menjadikan diri kita atau orang lain menjadi politisi pro rakyat maupun pengusaha yang lebih filantropis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan mengganti ataupun membenahi pemimpin dan sistem kepemimpinan, sama sekali tidak hinggap dalam impian para anarkis. Bagi para anarkis, semua itu hanyalah tirani politik yang manipulatif. Demokrasi hanya memberi seseorang satu pilihan melegakan, yaitu untuk menjadi pihak yang telah menindas diri orang tersebut.

Tidak perlu naif, korupsi takkan bisa disembuhkan dengan memenjarakan koruptor, karena sistem politiknya sendiri adalah akar dari korupsi. Dalam kata-kata diktator komunis, Stalin, “Mereka yang memilih tidak memutuskan apa-apa. Mereka yang menghitung hasil pilihan dan memutuskan semuanya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline