Lihat ke Halaman Asli

Giffari ElShanizar

mahasiswa pengen lulus

Pengendalian Rokok untuk Mencapai SGDs

Diperbarui: 27 Maret 2021   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

SDGs Pengendalian tembakau sangat diperlukan, mengingat selain merusak kesehatan, meluasnya penghisap rokok terutama di kalangan siswa dan remaja berdampak negatif bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs).

"Merokok sudah banyak diteliti sangat buruk manfaatnya bagi kesehatan paru dan saluran pernapasan. Adapun beberapa jenis penyakit yang bisa dicetuskan dan diperberat dengan merokok di antaranya penyakit paru seperti obstruktif kronis, bronkhitis kronis, asma, pneumonia, kanker paru, kamker tenggorokan, dan lain lain. Ga cuman itu, merokok tidak baik juga bagi kesehatan sistem organ kayak jantung, pencernaan, ginjal, syaraf, reproduksi, dan lain lain" - Chika Mahasiswa Kedokteran, FK UI

Hal itu terungkap dalam Asia Pasific Conference on Tobacco or Health (Apact) ke-12 yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/9) dihadiri a.l. oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brojonegoro dan Kepala Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Perwakilan Indonesia Dr. Navaratnasami Paranietharan.

Prevalensi merokok yang tinggi meningkatkan kasus-kasus penyakit tidak menular yang menelan biaya besar dan menyebabkan kualitas manusia Indonesia rendah.

SDGs memuat 17 target dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi.

Indonesia berkomitmen mencapai SDG sehingga kebijakan pengendalian tembakau yang merupakan salah satu (nomor 3) dari 17 target SDGs yakni kehidupan yang sehat dan sejahtera yang baik untuk semua. Tanpa kebijakan pengendalian tembakau yang kuat, mustahil bisa mencapai tujuan 3SDG

Sasaran 3 SDGs yakni penurunan sepertiga kematian dini akibat penyakit tidak menular pada 2030 dimana konsumsi rokok menjadi faktor risiko utama kematian dini dan disabilitas nomor dua pada kaum laki dan nomor delapan pada perempuan.

Pada 2015 saja, angka kematian dan disabilitas akibat penyakit tidak menular terus melonjak dan menyerap biaya hampir 24 persen dari pengeluaran kesehatan. Tujuan 3 SDG juga menyasar implementasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian tembakau (FCTC) yang kuat, namun sayangnya, Indonesia saat ini satu-satunya negara Asia yang belum mengaksesi FCTC.

Pengendalian tembakau juga terkait erat dengan hampir seluruh tujuan 3 SDG. Contohnya, selama ini pengeluaran warga miskin untuk rokok menempati urutan kedua setelah bahan makanan pokok, akibatnya alokasi anggaran rumah tangga untuk nutrisi dan pendidikan berkurang sehingga anak keluarga miskin perokok berisiko tinggi menjadi kontet (stunting).

Sedangkan Paranietharan mengingatkan, negara berpenghasilan rendah hingga menengah hampir tidak mungkin bisa mencakup jaminan kesehatan semesta (UHC) tanpa memiliki kebijakan pengendalian tembakau yang kuat.

"Untuk rokok sendiri ya rokok itu gak langsung meninmbulkan penyakit pada hari itu atau besok nya. Ada nya jangka waktu untuk perokok merasakan dampak negative nya biasa nya jangka waktu paling cepat adalah 1-5 tahun dan terdapat banyak pelaku yang masih remaja" - Chika Mahasiswa Kedokteran, FK UI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline