Lihat ke Halaman Asli

Elsa Arta Prayogo

Mahasiswa 23107030003 UIN Sunan Kalijaga

The Power of Silent Majority: Kemenangan Telak Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 Versi Quick Count

Diperbarui: 18 Februari 2024   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Instagram: prabowo_gibran2)

Pesta demokrasi yang usai dilaksanakan pada 14 Februari 2024 kemarin memunculkan istilah baru, yakni silent majority. Ya, istilah tersebut muncul dan ramai diperbincangkan publik usai mantan Gubernur Jawa Barat sekaligus Ketua TKD Prabowo-Gibran Jabar, Ridwan Kamil menyinggungnya dalam unggahan Instagram pribadinya.

Menurut Ridwan Kamil dalam unggahannya pada Rabu (14/2/2024), silent majority adalah mereka yang menyimak dan jarang komen di medsos, mereka yang jarang ribut-ribut namun berhasil menjawab dengan kerja yang terukur di lapangan.

Unggahan tersebut adalah buntut dari kemenangan mutlak pada perhitungan suara cepat atau quick count pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan suara kisaran 56-59%. Sementara pasangan nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapat kisaran 23-25% suara dan pasangan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan perolehan paling rendah, yakni kisaran 16-17% suara.

Hal tersebut yang kemudian diyakini publik, bahwa silent majority adalah kekuatan dibalik tingginya perolehan suara pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran. Lantas siapa sebenarnya silent majority? Mengapa suaranya dianggap penting dan memiliki power dalam memenangkan  pasangan Prabowo-Gibran di pilpres?

Dalam konteks politik, terutama pemilihan umum, istilah silent majority populer sejak tahun 1969 yang diperkenalkan oleh Richard Nixon melalui pidatonya. Nixon menggunakan istilah ini untuk merujuk pada kelompok orang yang diyakini mendukung kebijakan-kebijakannya, meskipun tidak vokal atau menyuarakan pendapatnya.  Richard Nixon pada saat itu mengungkapkan istilah ini dalam upayanya menarik sebagian pemilih partai lain. Jadi ada sebagian pemilih partai lain yang setuju dengan kebijakan Nixon, maka kemudian muncullah istilah silent majority ini untuk menarik suara pendukung Nixon pada masa itu.

Pengamat politik Aji Al-Farabi dari LSI Denny JA mengatakan, bahwa fenomena silent majority dalam politik Richard Nixon pada tahun 1969 tersebut terjadi juga di Indonesia, yakni tepatnya pada pemilihan presiden 14 Februari 2024 lalu.

"Ada sebagian pemilih partai lain yang sebetulnya mungkin setuju memilih pasangan Prabowo-Gibran. Tapi karena kondisi psikologisnya mungkin tidak nyaman untuk bersuara sebelum pemilu, akhirnya tidak terbaca. Namun ketika pemilu mereka keluar memilih pasangan 02." terangnya dalam wawancara oleh tvOneNews pada Sabtu (17/2/2024).

Selain itu, dalam acara ROSI Spesial oleh Kompas TV pada Jumat (16/2/2024), Muhammad Qodari, seorang pengamat politik yang sekaligus menjadi tim pendukung pasangan Prabowo-Gibran mengungkapkan pendapatnya soal isu silent majority. Menurutnya, fenomena ini memang terjadi di pilpres 2024 dan banyak pendukung pasangan 02 yang tidak menyuarakan pendapatnya.

"Silent majority itu adalah kalangan menengah kebawah ya. Pendukung Pak Prabowo ini kalau kita lihat di survei ini kan menengah kebawah. Orang-orang yang relatif tidak punya akses kepada media. Mereka bukan guru besar yang kalau pakai baju toga, lalu kemudian akan disorot oleh media, begitu. Mereka enggak punya akses itu." lanjutnya.

Sehingga kalau merujuk pada perkataan Qodari, maka para pendukung pasangan Prabowo-Gibran bukanlah orang-orang yang tersorot oleh media, yang seolah tidak terlihat. Padahal mereka ada dan mendukung, meski tidak menyuarakan dukungannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline