Pagi itu mentari merekah seperti yang biasa terjadi. Kuning keemasan menghiasi cuaca pagi di antara pepohonan yang sejak subuh telah berdiri tegak. Kabut pun menari-nari mengajak dedaunan berdansa. Usai pagi itu, cuaca memang cerah tapi bukan hari yang istimewa bagi banyak orang di kampung Arearea. Bagiku juga tidak. Hanya aku melihat sesosok yang tak biasa, duduk di samping batu nisan sang kakek. Rasa penasaran menggangguku untuk menghampirinya, tapi lebih banyak rasa takut, "mungkin roh kakek gentayangan", pikirku. Hanya mulutnya yang komat-kamit tapi tidak seorangpun berdiri di sana yang sekiranya sedang diajak bicara. Kudekati perlahan, yang lebih banyak dipikiranku adalah dia sedang berdoa, memohonkan sesuatu kepada pemilik batu nisan itu. Mungkin ia tahu bahwa ada aku yang melihat sosoknya, maka segera saja ia menyembunyikan wajahnya dari tatapanku yang tak sempat kukenal dengan baik.
Dari penampilannya, ia bukanlah nenek. Nenek memiliki ritual yang tak pernah dibantah bahwa semenjak kepergian kakek empat tahun silam untuk selamanya, beliau duduk dikuburan kekasih lamanya, ia selalu duduk di atas batu nisan. Ya, hanya nenek. Menurut pendapat klasik nenek, jika beliau duduk di atas batu nisan itu, maka ia masih memiliki kesempatan yang lebih luas untuk bicara kepada kakek dibandingkan ketika kakek masih hidup. Dan yang lebih aneh lagi bagi orang hidup pada umumnya, nenek bisa tertawa puas bersama kakek layaknya kedua pasangan kekasih yang merayakan bulan madu.
Nenek selalu berbagi cerita dengan aku, Jumiah dan Maria. Kadang-kadang aku tertawa terpingkal-pingkal bukan karena jenakanya sang nenek, tetapi melihat ekspresi Jumiah yang begitu serius disertai kengerian mendengar alkisah dari nenek. Jumiah jongkok, kedua tangannya menonggak dagu yang sebenarnya tidak rubuh itu, ia mengernyitkan dahinya mengikuti irama cerita nenek.
Untuk memastikan dirinya, aku mencoba menebak dengan sebuah panggilan khas.
"I'a" panggilku dengan suara lirih, sembari memiringkan kepala dekat pohon kemiri berharap dapat memastikan keberadaan sosok di atas batu nisan itu.
Panggilan itu kutujukan sembarang saja, siapa sangka ia menoleh dan menunjukkan dirinya. Sarung yang dia gunakan, rambutnya yang panjang, sebenarnya lebih cocok penjaga malam wanita atau hantu penjaga malam. Sarung yang digunakannya pun mirip dengan bahan yang dikenakan juga oleh semua keluarga, hal itu semakin mengaburkan tebakanku.
"I'a", suaraku lebih yakin kali ini. 'I'a' bisa berarti Miah panggilan akrab Jumiah. Bisa juga berarti Ria (Maria) atau panggilan sayang kami kepada nenek: Inna. Panggilan itu bukan sebuah tata bahasa kampung Arearea. Adik laki-lakiku pada usia 1-7 tahun ia telo lebih tepatnya ia tidak bisa menyebutkan setiap huruf mati. Maka bahasa itu atau 'huruf hidup' itu menjadi bahasa percakapan yang sah menurut adat-istiadat daerah itu.
Sekedar memberi suara di kesunyian pagi atau menemani kicauan burung, untuk memecah kehampaan tak beralasan, meski mentari 'kan bersinar memberiku satu alasan kenapa aku disini menemani raga yang hampir tak berarah. Aku tetap memanggil, tapi bulu kudukku berdiri berlomba dengan rasa penasaran yang ada.
Sosok itu tidak pedulikan suaraku dan bunyi apapun yang singgah pada pendengarannya, menegur sapa kuburan-kuburan seolah mengajak berdansa pepohonan. Sosok itu tetap berbisik entah kepada siapa dan tentang apa sehingga aku geram melihatnya.
Akh, peduli apa aku dengan komat-kamitnya. Aku bukan paranormal yang tahu isi bisiknya. Komat-kamit yang sama semenjak matahari menampakkan auranya.
"Apa yang kau lakukan disitu?" tanyaku memenuhi rasa penasaran.