Gieri tampak lesu, tertunduk di atas kursi menghadap meja. Sejumlah buku berbau konseling, metodologi penelitian, map-map berisi lembaran-lembaran putih pun tak sanggup menatap wajah Gieri. Lian yang menyeruput jus leci dari tadi hanya memandangi wajah kusut Gieri, lalu beralih ke tumpukan berkas itu. Seolah tak peduli, hanya saja Lian bingung menolong Gieri.
"Minum jusnya, Gieri. Dosen pembimbingmu sudah berlalu. Mungkin ia menunggumu." Tegas Lian.
Gieri tak sedikitpun terkejut mendengar Lian menyebutkan dosen pembimbingnya. Gieri lebih kaget melihat Sinta, gadis sederhana meneriakkan sebuah kata "semangat". Gieri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu menuruti permintaan Lian untuk meminum jus buahnya yang tidak dinikmati rasanya.
Sinta turut duduk di meja kantin kampus bersama Gieri dan Lian. Sinta berusaha menanyakan kabar skripsi Gieri yang sepengetahuan Sinta, sudah berbulan-bulan dianggurkannya.
"Gieri, aku temani bertemu dengan pak Gede?"
Gieri kali ini mengangkat bahu, kepala dan memperbaiki duduknya.
"Terimakasih Sinta." Sahut Gieri tanpa semangat. "Pak Gede sudah menandatangani skripsnya. Aku sudah siap sidang" katanya lalu menyeruput jus alpukat kesukaannya.
"Lalu, kenapa kau begitu lesu siang ini?" sahut Lian tak tahu aturan sekaligus senang.
"Leon, Tino, Rivka para pemalas yang suka menyontek di kelas lulus lebih dulu dan nilai mereka sangat tinggi. Bagaimana penilaian dosen-dosen selama ini, bisa-bisanya mereka mendapat nilai terbaik dengan cara buruk? Bagaimana aku tidak gelisah?"
Lian dan Sinta saling pandang, mengatur siapa yang akan bicara lebih dulu.
Lian menyambet.