Andaikan kau tahu perasaanku, mungkin kau tak akan menggangguku seperti ini. Setiap kata yang kau ucapkan menggores luka di lubuk hatiku. Pelan tapi pasti itu akan menjadi borok, bernanah yang tak pernah kau lihat, lebih tepatnya yang tak pernah kau perdulikan.
Bagaimana mungkin kau perduli luka hatiku, sebab yang kau tahu bahwa aku hanya seorang pria bisu, berpakaian compang-camping seperti ini, laksana hidup sebatang kara di tengah keluarga dan kesepian di antara kerumunan. Meskipun aku tinggal bersama dengan ibu, tetapi ibu telah menganggapku tidak lebih dari seorang budak, penimba air setiap pagi sebelum ayam berkokok dan bejana-bejana yang telah penuh dengan air sebelum burung-burung berkicau, hendak berkelana bersama dengan sejuta perasaan kesalku.
Kau pastinya tahu, Ibu melahirkanku dalam keadaan bisu seperti ini 20 tahun yang lalu. Dan ayahku pergi mencari nafkah di negeri orang. Tidak mengingat jalan kembali. Rambutku dulu masih rapi ketika aku berumur 4 tahun, Ibu masih setia memandikanku, membersihkan rambutku, menyisirnya, mengenakan pakaian yang bagus seiring dengan harapannya dan kesabarannya menunggu kapan aku akan mengeluarkan satu kata, "ibu".
Seyogyanya anak 4 tahun mengucapkan lebih dari sekedar kata "ibu". Tapi kau lihat 'kan, berapa banyak usia yang telah kulewati? Kau tahu 'kan berapa besar gejolak dalam dada untuk berbisik kepada ibu tentang apa yang kurasa kepadamu? Kau lihat juga bagaimana ibu mempelakukanku, tidak seperti yang dulu. Kakiku penuh dengan daki, meski tiap hari pekerjaanku menimba air. Rambutku, apalagi menjadi tempat yang nyaman bersarangnya semut dan nyamuk pada malam hari. Bajuku, selain kotor, sobek di mana-mana, juga bau. Tak ada yang perduli itu, kecuali hati nuraniku terus mengeluh, menuduh mereka yang ada di sekitarku.
Belum lagi di rumah, ibu memaksaku untuk tidur setelah semua orang di rumah terlelap, dan terbangun ketika mereka masih merangkai mimpi indah, berselimutkan kain tenun. Aku harus bangun untuk menyediakan air panas, membuat sarapan, menimba air untuk mengisi wadah air minum ukuran 75 liter, dan menyapu halaman. Itu pekerjaanku setiap hari. Sementara aku hanya mengeluh bersama sejuta pertanyaan yang tak pernah mungkin bisa terjawab. Kapan kau mendengarkan isi dihatiku? Ibu tak mungkin perduli itu, ia memilih untuk melemparkan jeriken ke kepalaku sadarkan aku dari keluhanku.
Ingin kuutarakan padamu tapi aku tak kuasa menerima semua kekejaman yang terjadi yang tak pernah kau sadari. Kau terlalu puas dengan dirimu, kau menertawakanku dengan geli.
"Hahahahaha.... hei lihatlah dia bawa jeriken untuk menimba air... Benot Bisu" begitulah setiap kali kulewat di depan pekaranganmu, hanya kata itu yang kau lontarkan, bersama dengan para gadis di kampung. Aku tak peduli apa katamu tentang siapa aku, kenyataannya kau benar, aku memang bisu. Namaku memang Benot. Tak dapat disangkali, namun yang aku sesalkan adalah tawamu. Tawamu yang melengking tajam terdengar oleh kuda yang terikat di pohon mahoni di belakang rumahmu, tetapi begitu merdu kedengaran rasanya saat mataku melihatmu, merdu hingga menghangatkan bekunya hatiku oleh segala dilema yang kuhadapi. Termasuk tentang dirimu.
Sesungguhnya aku lelah. Kau tak tahu itu 'kan? Kau mungkin tahu bagaimana setiap hari Ibu memarahiku jika aku mengganggu kau dan gadis-gadis cantik berambut ikal sedang bermain lompat tali di dekat kuburan, tempat ibu-ibu biasanya menghabiskan waktu untuk sekadar berbagi kisah tentang anak-anak gadis mereka dan hasil pertanian yang tidak memuaskan. Mengupas beberapa buah mangga, mencolek dalam sambal kasar yang hanya diulik dengan buah mangga di atas daun damar bedolah.
Kau berlari sesekali meminta potongan mangga kepada ibumu, seiring dengan senyummu yang kau lemparkan begitu saja entah kepada siapa atau karena apa. Dan aku yang melihat itu dengan ragu membalas senyummu walaupun aku tahu kau takkan pernah tulus memberikannya padaku. Aku tahu itu. Kau tertawa puas mengolokku, itu lebih berkenan bagimu bersama dengan gadis-gadis sepermainanmu. Tapi kau tidak pernah tahu, tawa itu menggores luka mendalam di hatiku, hari demi hari walau ku tak bisa mengungkapkan sepatah katapun.
Akh, sebenarnya tak perlu kuberitahu padamu tentang keadaanku, kuharap kau mengerti itu. Namun, kondisi fisikku lebih akrab di dalam ejekan ketimbang perasaanku.
Seharusnya kau lihat rasa malu yang kusembunyikan, saat kau tersenyum padaku. Aku sengaja menutup wajahku dengan jeriken-jeriken di tanganku, biar kau tahu aku malu dengan senyummu. Akh, sepertinya aku terlalu percaya diri, akupun tidak tahu sebenarnya kepada siapa senyum itu kau lemparkan. Mungkin kau bahagia karena seorang pria berwajah oval, hitam manis lewat di depanmu dan memberimu senyum terbaiknya. Ijinkan aku merasa, bahwa akulah pria itu, akulah yang menjelma menjadi pria idamanmu. Semoga kau merasakan itu.