Lihat ke Halaman Asli

El Sanoebari

Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Mara, Nama yang Tepat Untuknya

Diperbarui: 14 November 2022   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Desain Pribadi; Canva

Tak sempat Wino membela diri. Tak ada waktu untuk bicara apa yang sesungguhnya terjadi dengan Wino. Semalam ia terhenyak, diliputi ketakutan dan kegalauan. Akh, betapa ia merasakan malu. Entah kemana dibawa rasa kanyar ini. Wino bahkan tidak pernah menyangka akan begini jadinya. Tubuhnya berubah bak secepat kilat.

"Harusnya bukan sekarang." Keluhnya. "Harusnya menunggu seribu hari lagi, waktu yang telah kami tentukan, waktu kami akan melangsungkan pernikahan kami."

Tapi semalam, ia ditimpa kekacauan, tak tahu bagaimana harus bertindak. Ada yang berbeda dengan tubuhnya.

"Arrghh... mau ditaruh dimana mukaku ini? Hancur." Kesalnya.

Wino memandangi cermin di kamarnya dengan jelas, apakah mungkin cermin sedang berbohong kepadanya, karena dalam sekejab saja cermin itu seakan cembung. Airmatanya mengalir begitu cepat tanpa komando. Berharap saat ajal menjemput.

"Kenyataan ini yang harus aku bawa dan tak mungkin kukuburkan dalam-dalam. Tak mungkin." Wino memekik.

Wino benar-benar gamang. Belum pernah terjadi sebelumnya. Ia tidak berharap bahkan tak menginginkannya. Wino mengingat bahwa ia telah berjanji dengan terhadap diri sendiri, ia akan menjadi seorang istri bagi seorang suami, dan hanya dia yang menyentuhnya. Ketika tiba saat itu, ia akan merasakan menjadi seorang istri. Tapi kini janji itu terenggut sekejab oleh nafsu lelaki buas.

Ia bertanya-tanya kenapa pria jahanam itu tega melakukannya di saat dia tidak menginginkannya. Begitukah lelaki saat dikuasai nafsu ia takkan berpikir jauh? Bahkan lupalah ia tentang semua janjinya. Menyakitkan. Wino terus menyesali keadaannya. Kenyataannya sekarang ia hamil empat bulan.

"Bukan kenikmatan yang kurasakan tapi derita. Derita sepanjang aku merasakan sakit. Sakit yang tak mungkin kunjung hilang. Betapa malangnya nasibku sebagai wanita." Peluh memenuhi tubuhnya. Rasanya dingin.

Wino kini berandai-andai, bila ia bisa mengulang waktu, ia ingin menghempaskan semua kenyataan ini, dan membuang jauh-jauh segala kepahitan, lalu menjadi seorang pribadi yang baru, dan menggapai sebuah mimpi tentang janjinya pada dirinya. Rasa sakit ini menusuk amat dalam hingga ke sumsum. Siapa yang akan bertanggungjawab terhadap semua ini? Sedangkan tunangannya, telah pergi jauh meninggalkannya dengan alasan bekerja untuk persiapan pernikahan mereka.

"Tuhan, bagaimanapun rasa sakit ini kulupakan, akan tetap pedih. Tak terlupakan. Semakin sakit saat mengingat janji-janji kami. Janji yang sangat manis, semanis madu. Tapi kini telah menjadi pahit, laksana empedu. Kepada siapa kulampiaskan lara ini?" ia terus bergumam memanjatkan doanya mencari solusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline