Lihat ke Halaman Asli

Elsa Karina

Mahasiswa

Pentingnya Pendidikan dalam Ruang Kelas Siswa Gifted

Diperbarui: 5 Juli 2021   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan." ---Tan Malaka.

Tahukah kamu? Proses belajar adalah sebuah proses yang tidak berakhir. Manusia konstan melakukan pembelajaran untuk mengikuti perkembangan jaman maupun adaptasi terhadap lingkungannya. Pendidikan menjadi jalan berlangsungnya proses belajar itu sendiri. Di jaman modern ini, pendidikan menjadi salah satu unsur penting persyaratan sebuah negara agar dapat bergerak maju. Maka dari itu tidak ada kata terlambat untuk pemerintah agar dapat memperbaiki sistem pendidikan yang lebih mengakomodasi kondisi anak-anak dengan berbagai latar belakang, potensi, dan kemampuan.

Gifted, menjadi salah satu kondisi siswa yang butuh penanganan secara khusus dalam pembelajarannya. Nah! dalam teori "Three Dimensional Model" atau "Three-ring Conception" tentang keterbakatan, Renzulli (1979, dalam Wanandi, 2017), menyebutkan bahwa keterbakatan dibagi menjadi tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu:

  1. Kemampuan di atas rata-rata;
  2. Kreativitas;
  3. Pengikatan diri atau tanggung jawab terhadap tugas (task commitment).

Selain itu, terdapat dua hal yang harus diperhatikan untuk memahami keterbakatan menurut Wanandi (2017), yaitu:

  1. Keberbakatan merupakan ciri universal khusus dan luar biasa yang merupakan bawaan sejak lahir maupun merupakan hasil pengaruh lingkungannya.
  2. Keberbakatan ditentukan oleh kebutuhan maupun kebudayaan dimana seseorang yang berbakat itu hidup.

Munandar (1999) juga berpendapat  bahwa, anak dengan predikat gifted dan talented adalah anak-anak yang didefinisikan memiliki dasar kemampuan yang luar biasa dengan kecakapan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas yang berkualitas tinggi. Mereka lah yang akan memberikan sumbangan terbaik terhadap dirinya maupun masyarakat. Menurut Hawadi dkk. (2001) dalam Issom, Medellu dan Ramadhany (2020), individu berbakat akan mendapat pengayaan yang diperoleh dari materi pelajaran, proses belajar dan produk belajar. Sobat pembaca, Semia-wan (1992) mengemukakan terdapat berbagai cara program pendidikan bagi individu berbakat, antara lain:

  1. Mengadakan akselerasi pada mata pelajaran tertentu atau semua mata pelajaran.
  2. Memperluas pengalaman dan pengetahuan siswa dengan menambahkan bahan-bahan baru yang tidak ada dalam kurikulum biasa.
  3. Siswa diberikan kesempatan untuk mendalami mata pelajaran yang diminati.

Kali ini, kita akan membicarakan salah satu subjek yang menjadi sumber informasi kita. James Christian Gautama merupakan salah satu dari anak-anak gifted di Indonesia berumur 12 tahun yang meraih banyak prestasi dari olimpiade-olimpiade yang diikutinya di usia yang terbilang muda. Ibunya, Erna Irawati pun menyadari kecerdasan luar biasa yang dimiliki anaknya. James mendapat diagnosis sebagai gifted saat duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, usai orang tuanya diberi rujukan dari guru di sekolah agar mendapat masukan profesional tentang bagaimana sebaiknya mereka menangani James dalam ruang kelas.

Anak yang dikategorikan sebagai gifted adalah mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata genius (IQ 140-200). Sebelumnya, berdasarkan pendapat yang diutarakan langsung dari guru ke Ibunya, James merupakan anak yang sulit diatur di dalam kegiatan pembelajaran karena ia memiliki pemikiran bahwa guru merupakan figur yang seharusnya lebih pandai dibanding dirinya. Dan apabila mereka tidak sesuai ekspektasi, maka James tidak perlu menghormatinya. Kala itu ia belum sepenuhnya memahami bahwa gurunya yang berada di ruang kelas bukan semata-mata untuk mendidiknya, tapi guru juga hadir di ruang kelas untuk memahami dan membimbingnya. Seiring berjalannya waktu, ia dapat memahami hal tersebut.

Hingga akhirnya saat duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar, James diminta untuk menyampaikan sebuah pidato di sekolahnya dalam rangka Hari Guru Nasional. Mengingat di lingkungan sekolahnya ia dikenal sebagai anak yang dewasa, baik dalam mempresentasikan diri, hingga bagaimana cara ia berpikir. Guru pun berasumsi bahwa ia merupakan kandidat yang tepat untuk merepresentasikan teman sebayanya. Dalam pidatonya ia menyampaikan bahwa kini ia mengerti guru tidak hanya semata-mata mengajar untuknya; guru juga hadir sebagai sosok yang mendidik dan membimbingnya, menjadi sahabatnya dengan mengerti dan menerima dirinya apa adanya hingga ia dapat terus mengembangkan dirinya hingga ia dapat menjadi yang terbaik.

Tidak dapat disangkal, guru memang memiliki peran yang besar dalam perkembangan seorang anak. Ki Hajar Dewantara dalam semboyan yang digencarkan sebagai slogan pendidikan Indonesia menekankan jelas bahwa guru hadir di depan untuk menjadi teladan yang baik, menjadi pemrakarsa ide di tengah anak didiknya, dan memberikan dorongan dari belakang anak didiknya agar mereka dapat terus bertumbuh. Namun apakah hanya sebatas itu sosok guru dalam perkembangan anak-didiknya? Apakah guru hadir hanya semata-mata untuk mengajar dalam lingkungan sekolah?

Dalam kasus James, ia merupakan seorang anak yang beruntung, karena sejak awal ia berada dalam lingkungan yang berusaha untuk memahaminya, terlebih gurunya memiliki kemauan untuk menerima masukan dari profesional terkait langkah penanganan yang sebaiknya ia lakukan untuk lebih mengenali James. Apabila gurunya tidak berkomunikasi dengan orang tuanya terkait kesukarannya untuk memahami James di ruang kelas, mungkin pertanyaan, "Apakah anak saya ADHD atau autis, ya?" akan menjadi konstan yang ada dalam pikiran sang Ibu karena tidak ada yang memberikannya dorongan untuk mendapat asesmen dari profesional untuk anaknya.

Giftedness terwujud ketika gifted sebagai potensi mendapatkan dukungan yang cukup dari lingkungannya (Mnks & Pflger, 2005), dan dalam lingkungan yang mendukung, baik keluarga dan sekolah perlu memahami permasalahan anak gifted, tumbuh kembang, dan karakteristik personalitas anak tersebut (Van Tiel, 2007). Dalam ruang kelas terjadi Kegiatan Belajar-Mengajar, di mana baik guru maupun siswa belajar untuk saling memahami dalam situasi timbal-balik yang sifatnya mempengaruhi dan dipengaruhi. Kala guru mengajarkan ilmu pengetahuan, saat itu juga guru dapat belajar untuk mengasah empati dan intuisinya. Guru yang baik adalah guru yang bersedia memahami situasi anak didiknya, baik di dalam maupun di luar ruang kelas, dan keberhasilan guru dalam mendidik dapat dilihat dari keberhasilan siswanya dalam bertumbuh menyambut kedewasaannya dengan kondisi terbaik yang dapat sang anak kerahkan untuk masa depan yang lebih baik, untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline