Lihat ke Halaman Asli

elsa hertria

Mahasiswa

Dinamika Kebebasan Pers: Peran Teori Normatif Media dalam Konteks Indonesia

Diperbarui: 24 September 2024   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teori normatif media menjelaskan bagaimana media bekerja untuk publik di bawah kontrol berbagai ekosistem politik (Siebert, Peterson, & Schramm, 1956). Teori ini menegaskan bahwa peran, tanggung jawab, dan kebebasan media sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku. Misalnya, dalam sistem politik otoritarian, media sering kali dikendalikan secara ketat oleh negara demi melayani kepentingan pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem libertarian, media memiliki kebebasan penuh untuk menyuarakan pendapat tanpa campur tangan siapapun. Di negara-negara yang menganut tanggung jawab sosial, media diharapkan tidak hanya bebas, tetapi juga bertanggung jawab dalam menyediakan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi masyarakat.

Media Indonesia pernah berada di bawah tekanan politik otoritarian pada masa pemerintahan Suharto. Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, keadaan media di Indonesia mengalami perubahan besar dengan adanya kebebasan pers yang diatur oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kebebasan ini tidak hanya menimbulkan keberanian jurnalis untuk memberitakan isu-isu yang terbungkam pada masa orde baru, melainkan juga memunculkan banyak platform media dari berbagai kalangan, termasuk konglomerat dan politisi. Ini menjadi tantangan baru bagi kebebasan pers karena terbatas oleh kepentingan politis pemilik media (d’Haenens, 2022).

Kepemilikan media dapat menimbulkan bias pemberitaan dan informasi. Pemilik media sering kali memiliki agenda politik atau bisnis tertentu yang dapat memengaruhi isi dan arah pemberitaan. Hal ini menciptakan ruang untuk penyelewengan informasi, di mana fakta-fakta penting mungkin disembunyikan atau diputarbalikkan untuk melayani kepentingan pemilik. Akibatnya, independensi dan objektivitas media terancam dan dapat mengurangi kualitas informasi yang diterima publik serta membatasi kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang isu-isu yang relevan (Hajad, 2018).

Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki media alternatif yang beragam, mulai dari kritis terhadap pemerintah hingga rutin memberitakan isu yang terpinggirkan. Meskipun tidak sebesar media arus utama milik konglomerat, media alternatif ini berperan penting dalam memperjuangkan tanggung jawab sosial dengan memberikan liputan yang lebih kritis dan mendalam, terutama terkait isu-isu HAM, lingkungan, minoritas, dan korupsi yang mungkin terabaikan oleh media mainstream (Allifiansyah, 2015). Keragaman ini mencerminkan dinamika kebebasan pers di Indonesia, di mana meskipun ada tantangan dalam bentuk pengaruh politik dan kepentingan bisnis, masih ada ruang bagi jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab untuk terus berkembang.

Selain itu, munculnya media sosial memberikan dimensi baru bagi kebebasan berekspresi. Media sosial memberi kesempatan bagi publik untuk turut menyuarakan isu-isu tertentu yang mungkin tidak mendapat liputan di media arus utama. Dengan kemampuannya untuk memperluas jangkauan secara cepat, media sosial dapat menarik perhatian lebih banyak orang dan memicu percakapan publik yang lebih luas. Isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan dapat segera viral dan menimbulkan respons pihak berwenang, pembuat kebijakan, serta media arus utama (Laws Learned, 2024).

Menggabungkan peran media alternatif dan media sosial dapat menciptakan kombinasi yang luar biasa dalam menyaingi media arus utama milik konglomerat dan politisi. Media alternatif akan mendapat dorongan besar dari media sosial dalam penyebaran informasi secara cepat dan jangkauan audiens yang lebih luas. Sinergi ini memungkinkan media alternatif untuk memanfaatkan kekuatan viral dan interaktivitas media sosial sebagai gaung yang menjadikan suara mereka lebih terdengar dan mematahkan dominasi media arus utama. Kombinasi ini tidak hanya menguntungkan media alternatif, tetapi juga memperkaya ekosistem media secara keseluruhan, menciptakan ruang bagi beragam suara dan pandangan untuk bersaing secara sehat. Pada akhirnya, kombinasi ini memposisikan media sebagai penanggung jawab sosial dalam konteks demokrasi.

Referensi:

Allifiansyah, S. (2015). Media Alternatif di Indonesia. Jurnal scholar, 8.

d'Haenens, L. (2022). Concentration Of Media Ownership In Indonesia: A Setback For Viewpoint Diversity. International Journal of Communication, 16, 2239-2259.

Hajad, V. (2018). Media Dan Politik (Mencari Independensi Media Dalam Pemberitaan Politik). Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2).

Laws Learned. (2024, July 23). The Role Of Social Media And Justice In Modern Legal Advocacy. Law and Justice. https://lawslearned.com/social-media-and-justice/.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline