Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kota Menggusur Sepakbola

Diperbarui: 17 April 2017   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepakbola adalah salah satu olahraga yang paling digemari di Indonesia, bahkan mungkin yang paling populer. Masyarakat dari berbagai kalangan menikmati permainan mengolah si kulit bundar ini. Namun, saat ini sepakbola kurang memiliki tempat dan ruang yang memadai, khususnya di perkotaan. Sepakbola mulai tergusur, digantikan olahraga lain yang serupa tapi tak sama, yaitu futsal. Lalu, mengapa sepakbola bisa tergusur dari perkotaan?

Di era 90 an, lingkungan kami masih memiliki sebuah lapangan sepakbola yang besar dan luas. Setiap tahunnya, terutama saat peringatan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, Rukun Warga (RW) dimana saya tinggal selalu menggelar turnamen sepakbola antar Rumah Tangga (RT) di lapangan tersebut. Suasana sangat riuh dan penuh gegap gempita teriakan penonton. Selain digunakan untuk turnamen tahunan, lapangan sepakbola tersebut digunakan juga setiap sore oleh masyarakat sekitar untuk pertandingan biasa, yang biasanya baru selesai saat adzan magrib terdengar.

Suasana tersebut sangat kami nikmati selama bertahun tahun, hingga akhirnya tersiar kabar bahwa si pemilik lapangan tersebut akan menjual lapangan tersebut kepada developer untuk dijadikan kompleks perumahan.

Saya masih belum mengerti dampak dari berubahnya fungsi lapangan tersebut ketika itu. Yang saya tahu kami sudah tidak punya lapangan besar untuk bermain sepakbola lagi. Dampak tersebut baru saya pahami sekarang. Penggusuran lapangan tersebut sangat mempengaruhi hubungan sosial masyarakat yang berada di lingkungan kami.

Anak-anak adalah kalangan yang paling merasakan dampak dari alih fungsi lapangan. Mereka jadi tidak memiliki arena bermain yang menyenangkan. Dahulu, selain digunakan untuk bermain sepakbola, anak-anak juga menggunakannya untuk beragam permainan lain, seperti gobak sodor, layang-layang, kelereng, lompat tali, dan masak-masakan. Lapangan tersebut juga menjadi wadah sosialisasi, dimana seluruh anak-anak dari 12 RT yang ada bisa saling bercengkerama dan saling mengenal. Sekarang, saat lapangan sudah berubah jadi perumahan, anak-anak tidak lagi bercengkerama seperti dulu, dan kebanyakan yang mereka lakukan adalah memainkan gadget.

Dampak yang dialami anak-anak otomatis menular juga ke orang-orang dewasa. Tidak ada lagi sarana bercengkerama seperti saat lomba Agustusan dahulu. Sosialisasi antar penduduk pun semakin jarang terlihat.

Meskipun futsal semakin marak kemunculannya di lingkungan masyarakat, namun keberadaan lapangan futsal ini tidak banyak membantu. Karena lapangan futsal ini hanya diperuntukkan untuk kegiatan futsal, ukurannya kecil, dan tentunya berbayar. Bahkan di Jakarta, harga per jam nya bisa ratusan ribu rupiah.

Inilah fenomena sosial yang terjadi akibat alih fungsi lapangan sepakbola rakyat. Mungkinkah kota menghadirkan kembali lapangan sepakbola untuk rakyat seperti yang dulu?

Banyak tokoh-tokoh besar dunia yang menganggap sepakbola adalah alat sosial yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan seorang revolusioner seperti Che Guevara, sepakbola bukan sebuah permainan olahraga saja, tapi sebuah senjata revolusi. Albert Camus, seorang filsuf yang terkenal bahkan mengatakan “ Dalam hal keutamaan dan tanggungjawab akan tugas saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline