Lihat ke Halaman Asli

Elsa Elfarida

Mahasiswa

Pemecahan dari Fenomena Cancel Culture yang Marak Terjadi di Pemilu 2024

Diperbarui: 22 April 2024   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Cancel culture adalah praktik menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu karena perilaku yang dianggap ofensif atau tidak pantas, seringkali melalui media sosial. Ini melibatkan pengumuman secara publik dan boikot terhadap individu atau entitas yang dianggap telah bertindak tidak pantas atau menyinggung, seringkali berdampak pada kehilangan reputasi, peluang pekerjaan, atau status sosial.

Mengutarakan pendapat mengenai pilihan masing-masing individu pada masa pemilu merupakan hal yang wajar bagi masyarakat indonesia. Namun, terdapat fenomena panas pada saat pemilu kemarin, yaitu adanya peristiwa cancel culture terhadap perbedaan pilihan antara pendukung dari masing-masing pasangan calon pemilu yang dimana menyebabkan banyaknya masalah sosial yang terjadi. Peristiwa cancel culture ini sering terjadi di platform media sosial maupun dilingkungan masyarakat.

Adanya perbedaan pilihan dalam memilih paslon dianggap sebagai hal yang tidak bisa ditoleransi karena merasa pilihan kelompok tertentu yang paling benar, di era digital yang makin masif sekarang informasi sangat mudah disebarluaskan, tetapi selama masa pemilu banyak sekali informasi yang memicu pertikaian melalui peristiwa cancel culture yang terjadi sehingga fenomena ini memberi beberapa dampak dan pengaruh ke masyarakat. Maka dari itu kelompok kami mengambil topik ini dan akan menganalisis pengaruh dari cancel culture tersebut dalam masa pemilu ini. 

Kami melakukan beberapa analisa melalui metode survey Google Forms dan wawancara secara langsung kepada masyarakat tentang pengaruh cancel culture yang terjadi selama pemilu. Dalam hasil survey Google Forms, kami dapat mengambil hasil bahwa terdapat 93.3% persen orang yang pernah melihat atau mengalami cancel culture pada masa pemilu yaitu sebanyak 28 orang.

Berikut adalah salah satu dari hasil wawancara yang sudah kami lakukan, kami mengambil salah satu narasumber bernama Rafi yang merupakan mahasiswa umur 21 tahun. Narasumber kami pernah melihat adanya fenomena cancel culture selama pemilu seperti mendapat sogokan untuk memilih yang disuruh dan dibujuk dengan cara menjelek-jelekkan paslon lain. 

Namun dia mengatakan bahwa dia tidak pernah ragu dan terpengaruh terhadap fenomena cancel culture yang terjadi karena dia sudah melakukan riset sendiri. "Dampak dari fenomena cancel culture ini ada pro dan kontra sih, kontranya adalah bikin orang ragu sama pilihannya jadi ga percaya diri untuk memilih paslon yang diinginkan.

Sedangkan pronya, kalau orang yang melakukan tindakan cancel culture  memberi opini sesuai data, maka hal itu dapat membantu orang-orang yang tersesat dari berita hoax", ucap Rafi salah satu narasumber kami dalam berpendapat tentang pengaruh dari cancel culture yang terjadi selama pemilu ini. 

Setelah melakukan riset dan wawancara, kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa pengaruh cancel culture pada masa pemilu memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Sisi positifnya adalah memperkuat dan meningkatkan kesadaran akan isu-isu sosial dan politik serta masyarakat dapat lebih aktif dalam memperhatikan perilaku dan sikap kandidat. Sisi negatifnya adalah terbatasnya kebebasan berpendapat dan menyuarakan gagasan kontroversial atau gagasan berbeda, karena perasaan takut. 

Dalam tugas mata kuliah pancasila yang kami tempuh ini kami diminta untuk membuat solusi dan inovasi dari topik yang kami angkat yaitu "Pengaruh Cancel Culture Selama Masa Pemilu". Solusi dan Inovasi dari kelompok kami adalah dengan memberi arahan agar masyarakat memperbanyak research dan literasi, serta memberi arahan perihal mengolah informasi dan data di internet. 

Agar sosialisasinya terasa menyenangkan bagi masyarakat, kelompok kami membuat poster dengan visualisasi yang menarik dan akan dibagikan kepada masyarakat ketika melakukan sosialisasi secara langsung, dan untuk sosialisasi secara online kita akan mengupload poster lewat media yang banyak dan sering digunakan oleh masyarakat yaitu Instagram, dan menyebarluaskan poster tersebut lewat grup-grup, hal ini dilakukan agar melatih masyarakat untuk tidak malas membaca informasi dan mulai meningkatkan minat literasi sedikit demi sedikit. 

Sehubungan dengan eratnya cancel culture dengan media sosial, diharapkan para pembuat konten dapat lebih bijak dengan mempertimbangkan konsep mengenai kontennya, agar tidak bersinggungan dengan sesuatu yang keluar dari norma atau aturan yang berlaku. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalisasi kemungkinan menerima sikap cancel culture dan cyberbullying dari masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline