Kalian ingat lagu yang berjudul “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada“ yang di nyanyikan Ahmad Dhani dan almarhum Crhisye pada tahun 2004?. Lagu ini populer pada masanya, di putar di radio-radio, teman-teman sekolah saya sering menyanyikannya di dalam kelas, di desa-desa, di warung-warung lagu ini di putar. Dulu saya sering mendenger lagu ini, menikmati irama musiknya dan tidak pernah terlintas di pikiran bahwa lagu ini memilki makna yang dalam. Di tahun 2020 makna dari lagu tersebut masih sangat relevan dengan keadaan sekarang. Keadaan dimana kita mengukur segala sesuatu hanya karena catatan, catatan yang akan memberikan kita imbalan.
Kita berpuasa agar amal kita di catat
Kita berbuat baik agar amal kita di catat
Kita sholat agar amal kita di catat
Kita naik haji agar amal kita dicatat
Kita membayar zakat agar amal kita dicatat
Kita ber-kurban di hari raya idul adha agar amal kita dicatat
Kita memberi sumbangan ke masjid supaya di catat oleh panitia masjid .Agar nanti nama kita menggema di seluruh penjuru rumah, ketika panitia dengan TOA (pengeras suara) mengumumkan nama-nama yang memberi sumbangan . Agar semua orang tau kita orang dermawan.
Bahkan mahasiswa tidak apa-apa tidak datang kuliah asal namanya di catat di absen, nitip teman supaya namanya di catatatkan di absen, supaya kelihatan hadir. Bukankah kuliah itu yang terpenting ilmunya bukan catatan absennya? Logika terbalik.
Saya sering mendengar karyawan buru-buru datang ke kantor karena waktu absen pakai finger print nya sebentar lagi habis .Katanya kalau sering terlambat absen, gajinya di potong, nah loh!. Mereka bukan buru-buru datang ke kantor karena mengejar pekerjaan atau karena mematuhi aturan tapi mengejar catatan absensi agar gajinya tidak di potong!.
Bisakah kita berbuat baik dan beribadah tanpa embel catat-mencatat tersebut. Bisakah kita berbuat baik dan beribadah hanya karena kita memang ingin melakukananya. Bisakah kita terbebas dari hamba catatan ?.