"Baik, Kak. Aku akan segera pulang."
Ku matikan telpon dari kakak perempuanku di kampung. Dia mengatakan bahwa Ibu sakit parah. Dan dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini. Kegundahan melanda jiwaku. Aku bimbang untuk pulang. Bukan karena aku tak sayang sama Ibu, tetapi karena saudara-saudaraku seperti tak menerima kehadiranku di samping Ibu.
Telah lama aku tak pernah menjejakkan kaki di kampung halaman. Aku lebih memilih merantau dan mencari hidup dengan cara berdagang. Ku rintis usaha dagangku mulai dari kaki lima, saat ini aku telah memiliki beberapa toko. Alhamdulillah, aku mampu mengembangkan usaha tanpa harus meminta dan bergantung dari orang tua. Aku sudah terbiasa hidup sendiri.
Aku tak menyesali apapun yang pernah terjadi kepadaku. Kalaupun terkadang aku di sepelekan dan tidak dianggap, tapi bagiku itu biasa. Aku memaafkan mereka yang dulu meragukanku dan mengejekku. Aku sudah terbiasa, ditempa oleh hinaan, cacian bahkan pujian yang menyesatkan. Kini pada akhirnya mereka baru mengakui aku sebagai saudaranya.
Satu hal yang membuat aku bertahan selama ini adalah Ibu. Setiap kali aku mendengar suara Ibu di telpon, aku akan segera bersemangat. Ibu bagaiakan jantungku, yang akan berdetak jika aku mendengarkan berita bahwa Ibu sehat dan bahagia. Dan aku takkan bisa melakukan apapun jika aku mendengar Ibu dalam keadaan sakit atau sedih. Ah..., betapa Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tersenyum mengingat Ibu.
Tiba-tiba aku merasa sedih. Tak terasa air mataku menetes. Aku teringat Ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit. Pedih hatiku. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini yang kufikirkan adalah bagaimana aku harus segera sampai di kampung. Aku tak lagi berfikir bagaimana nanti sikap kakak-kakakku menerima kehadiranku. Begitu dapat tiket pesawat, aku langsung berangkat. Tak sabar untuk segera menemui Ibu. Tak terhitung air mata menetes di pipiku mengingat kondisi Ibu saat ini. Meskipun aku lelaki, tetapi aku tidak malu meneteskan air mata.
Sesampainya di kampung, aku langsung menuju rumah sakit tempat Ibu dirawat. Begitu aku datang, kakak laki-lakiku pulang dan tinggallah aku sendiri. Hatiku menjerit. Ibu yang selalu hangat menyambutku sebelumnya kini hanya terbaring lemah, diam dan matanya terpejam. Ada selang makanan yang terpasang di hidungnya. Beberapa alat menempel di dada dan terhubung ke monitor. Bunyi alat monitor ICU itu menimbulkan denyut di kepalaku. Seketika aku merasa lemas dan terduduk di bangku panjang yang ada di lorong rumah sakit.
'Ibu...., pasti Ibu kesakitan sekarang. Aku rela menggantikan sakitmu, Bu. Asal Ibu sehat kembali.Bangunlah, Bu. Anakmu sudah pulang.'
Aku tertunduk. Yang bisa kulakukan hanya merapal doa, berharap Ibu membuka mata dan tersenyum menyambut aku pulang. Tetapi Ibu diam saja. Hanya dadanya yang naik turun yang menandakan bahwa Ibu masih bernafas. Setelah dokter mengijinkan aku masuk, ku pegang dan kucium tangan Ibu. Ku usap kepalanya yang telah putih sempurna oleh uban, menandakan Ibu telah lama mengenyam garam kehidupan. Sekilas kucium keningnya dan kubisikkan kata, 'Bu..., aku pulang. Aku kangen sama Ibu. Maafkan anakmu, Bu. Baru sempat menemuimu setelah sekian lama pergi.'
Kurasakan tangan Ibu bergerak di genggamanku. Aku tersenyum haru, kala mata tua itu terbuka. Masih nanar memang. Ku panggil Ibu dengan lembut. Mata tuanya bergerak, menoleh kearahku. Ada bulir air mata mengalir di sana. Aku merasakan kerinduan Ibu kepadaku. Begitupun dengannku.
"Terima kasih Bu, terima kasih Ibu sudah bangun untukku. Aku pulang menemuimu, Bu. Aku kangen sama Ibu."