Lihat ke Halaman Asli

Elfish Angelic

Suka baca yang tidak terbaca

Kawin Paksa ala "Demi Ucok"

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Perkawinan yang dipaksakan”

Harap tidak terpaku dengan sub judul tulisan ini “perkawinan yang dipaksakan”. Ini baru akan saya bahas pada aline kelima pada tulisan ini, sekarang saatnya kita fokuskan pada sebuah film cerdas yang lahir dari tangan seorang perempuan bernama Sammarina Simanjuntak.

Sebelum melahirkan “Demi Ucok” Samarina sempat membuat film “Cin(T)a”. Sebuah film Indie dengan latar belakang cinta beda Agama. dan berhasil membawa pulang penghargaan Skenario asli terbaik dalam ajang FFI 2009. Dan kini ia kembali menunjukan kepiawaiannya dalam mengolah skenario dalam Demi Ucok.

Demi Ucok menyuguhkan cerita sederhana yaitu tentang pergulatan Ibu dengan anak perempuanya demi mencapai apa yang di inginkan Sang Anak. Sang anak Gloria Sinaga 29tahun merasa jenuh dengan pekerjaanya sehari-hari sebagai dosen disebuah sekolah perfilman. Prestasinya empat tahun lalu yang berhasil membuat film Indie membuatnya harus melakukan hal yang baik lagi di film keduanya. Namun masalahpun muncul dengan hadirnya pemintaan sang Ibu, yaitu harus menikah!.

Selanjutnya film ini berjalan dengan dialog tek-tok yang akan membuat kita tersenyum sekaligus terpingkal-pingkal menyaksikan acting Mak Gondut dengan dialek batak yang sangat batak. Saya yakin jika anda berasal dari Sumatra Utara “Demi Ucok” merupakan film yang tak terlupakan.

Membahas Ide cerita tentang “Perkawinan paksa”. Sebenarnya sudah muncul di kasanah kesustraan Indonesia yang dibuat oleh Marah Rusli (kasih tak sampai) atau lebih dikenal dengan cerita Siti Nurbaya. yang kemudian pada tahun 1990an diangkat kelayar kaca. dan ditahun 2007 dan 2009 Hanung mengangkat kembali tema “perkawinan paksa” dalam film Get Married satu dan Dua.

Tema “perkawinan paksa” yang muncul dalam dunia sinema dan satra sering kali menampilkan perempuan menjadi objek yang tidak setara. Dan akar dari ketidaksetaraan tersebut tidak lain dan tidak bukan karena masih mengakarnya budaya patriarki hinggi zaman modern ini.

Perempuan di”paksa” harus menjadi kosmetik sosial, ia harus terlihat cantik, anggun dan cerdas didepan banyak orang, padahal hal-hal diatas bukanlah yang menjadi capaian dari setiap perempuan. Yang terpenting justru mempunyai wewenang mengatur tubuhnya sendiri , bukan diatur oleh keluarga dan Negara. Didalam film Demi Ucok terlihat jelas bagaimana seorang perempuan tidak diberikan peluang untuk mengatur hidupnya. dan didalam film ini juga terlihat jelas sang Ibu begitu memaksa agar anaknya menikah. padahal belum tentu pernikahan adalah jalan terbaik namun justru pernikahan menjadi "penjara" bagi perempuan.

Finally…Bagi anda yang telah menyaksikan film 5cm dan Habibie dan Ainun, jangan bandingkan dengan film Demi Ucok, perbedaan mencolok akan terasa pada sinematograpinya. Dengan semangat kesederhanaan justru Demi Ucok hadir menjadi sebuah tontonan yang membumi tanpa menghakimi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline