Meraih apa yang diimpikan setelah berusaha semaksimal mungkin, memiliki hidup yang lebih baik, bisa tertawa lepas tanpa diselimuti ketakutan akan masa depan yang masih abu-abu, atau hanya menjadi orang yang selalu beruntung saja rasanya menyenangkan, bukan? Tetapi kenapa dari hal-hal itu tidak ada satupun menjadi milikku? Apakah setidak pantas itu aku memiliki salah satunya?
Rasanya setiap hari isinya hanya aku yang bermonolog, “ya sudah, lah. Mungkin bukan rezeki-ku. Kan kata orang-orang rezeki itu tidak akan pernah tertukar.” Afirmasi positif yang selalu aku katakan pada diri sendiri ujungnya tidak lagi mampu membangkitkan semangat dalam menjalani kehidupan— karena, nyatanya aku tidak lagi bersemangat menjalani hidup, aku tidak bahagia. Terlalu egois memang kalau hidup hanya menginginkan bahagianya saja.
Semua kebahagiaan itu seolah berhenti dan terakhir merasakan ketika aku hanya peduli bagaimana caranya supaya bisa bermain seharian dengan teman-teman sewaktu kecil, setelahnya bahagia itu semrawut dengan sendirinya. Ternyata semuanya terasa berubah saat aku menyadari bahwa lebih enak tidur di siang hari daripada berlomba dalam hidup. Mengikuti alur dunia yang isinya pencapaian.
Bukankah jadi biasa-biasa saja itu juga tidak masalah?
“Roti sama jus-nya jangan dianggurin gitu, Ca. Katanya kamu lapar?” Aku sontak menghentikan pergerakan tangan, mengangkat wajah menghentikan fokus sejenak dari aktivitasku sebelumnya hanya untuk melihat Arga di depanku yang tersenyum mengingatkan.
“Ah, iya,” kataku sembari membuka sebungkus roti yang aku bawa dari rumah sebelum ke tempat sekarang. Sekelilingku dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk berjuang untuk hidupnya, sama sepertiku, tentunya memiliki tujuan yang berbeda.
Aku tanpa sadar mengangkat kedua sudut bibirku saat mendengar celetukan Arga mengomentari kelakuanku saat makan. “Santai aja, Ca. Aku nggak bakal minta rotimu kok, udah kenyang juga.” Dia mengelus perutnya, menunjukan padaku kalau dia sudah kenyang sungguhan, “Mungkin aku cuman minta satu hal aja, sih, dari kamu. Kayak biasanyalah ya, kamu harusnya ingat.”
Aku menghentikan kunyahan, melihatnya tidak tertarik seusai mengatakan kalimat itu.
“Apa coba? Masih inget nggak, Ca?” Dia terdengar menggodaku, karena dia tahu aku tidak suka dengan satu permintaan darinya. “Jawab, dong, Eca. Kalau enggak dijawab aku pergi, nih,” lanjutnya.
Meski malas mengatakan aku tetap membuka mulutku hanya untuk mengeluarkan satu kata, “Bahagia.” Aku menjawabnya.
“Nah, pinter.” Sepertinya Arga senang melihatku yang kesal sama permintaannya.