Nama baik lembaga kepolisian kembali mendapatkan ujian. Setelah tercoreng oleh kasus Ferdi Sambo, menyusul muncul kasus seorang polisi yang merasa diperas oleh sesama polisi.
Cerita awalnya seperti ini.
Kejadiannya masih terjadi di bulan Februari 2023 ini dan sempat menghebohkan dunia informasi negeri ini. Ada seorang anggota kepolisian yaitu Bripka Madih yang tinggal di wilayah Bekasi sana, beliau merasa dirugikan dalam kasus sengketa tanah. Dia mengatakan bahwa tanahnya telah diserobot oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan itu jelas sangat merugikan dirinya. Maka dia, sebagai polisi yang juga memiliki hak yang sama sebagaimana warga Indonesia di mata hukum, ingin menyelesaikan masalahnya secara adil.
Sebagai seorang polisi, pastinya tidak sulit untuk mengadukan masalah seperti ini karena relasinya sesama profesi polisi pastilah banyak. Tetapi ternyata, ungkapan perumpamaan "uang tidak mengenal teman" memang nyata adanya.
Karena ketika dia mengadukan dan meminta bantuan kepada sesama polisi, beliau ini malah diminta uang seratus juta rupiah demi melancarkan penyelesaian kasusnya itu. Apakah harga tersebut sudah termasuk harga teman atau bukan? Atau mungkinkah jika Bripka Madih bukan teman satu frekuensi sehingga diberi harga sebegitu tinggi?
Saya tidak tahu!
Tetapi dalam benak saya timbul pertanyaan, jika harga tersebut adalah harga teman, maka berapa harga "pelumas" yang harus diberikan untuk "melicinkan" suatu perkara jika yang meminta bantuan bukan dari kalangan teman?
Urusan pelicin dalam penyelesaian suatu permasalahan dalam kepolisian memang sudah sangat melekat di mata publik. Kita ambil contoh yang paling sederhana, pembuatan SIM, Surat Izin Mengemudi yang bentuk fisiknya sama sekali tidak seperti surat itu, misalnya. Dari sekian banyak seluruh warga Indonesia yang sudah memiliki hak membuat SIM, berapa persen yang mengurus pembuatannya dan kemudian mendapatkannya dengan cara normal? Saya yakin tidak lebih setengahnya saja.
Saya sendiri pernah dua kali membuat SIM dan dua kali itu pula saya tidak menggunakan jalur resmi. Hal itu saya lakukan karena ketika memakai jalur resmi, saya tidak lulus bahkan tidak pernah bisa melewati tes tulisnya, dan meskipun saya bisa lolos test tulisnya pada saat itu, saya tidak yakin bisa melewati test praktiknya yang jalur tracknya sangat berliku seperti labirin kehidupan yang sangat sulit untuk dilalui.
Hingga akhirnya dengan sangat terpaksa saya harus menggunakan sistem "nembak" agar bisa segera mendapatkan SIM tersebut. Ajaibnya, ketika mengurus dengan cara tidak resmi ini, saya tidak melewati tahap test apapun. Bahkan hanya sekadar untuk test formalitas pun tidak. Saya langsung dipanggil untuk sesi pemotretan, dan hanya menunggu sekitar 20 atau 30 menit, taraaaa... surat dalam bentuk kartu itu bisa saya bawa pulang.