Kami berada di sebuah desa kecil yang terletak di lereng bukit, di mana rumah-rumah tradisional berdiri megah dengan atap berbentuk tanduk kerbau yang khas. Pepohonan rimbun tumbuh di lereng-lereng curam, menyediakan tempat berlindung bagi berbagai jenis fauna yang menghuni lembah itu. Di bawah sinar matahari yang terang, lembah ini menampilkan pemandangan alam yang menakjubkan, dengan pepohonan hijau yang menciptakan bayangan yang menenangkan dan suara gemericik air yang lembut dari sungai-sungai yang mengalir membelah ngarai menjadi beberapa bagian. Jika senja tiba, maka langit akan berubah warna menjadi oranye dan merah muda, sehingga menciptakan suasana magis di sekitar lembah. Panorama tersebut dapat mengundang mereka untuk menikmati keindahan yang disajikan oleh semesta dengan penuh kagum. Tempat ini dikenal sebagai "Lembah Sunyi" oleh para turis, karena keheningan yang menyelubungi seluruh area.
Namun, aku tidak pernah menduga bahwa perjalanan ini akan mengantarkanku kepada peristiwa yang sulit kubayangkan dengan logika ilmiah. Bahkan aku juga tidak pernah menduga, bahwa dibalik keindahan alam yang indah itu, terdapat sebuah kisah menyeramkan yang tersembunyi.
****
Bus pariwisata berhenti dan kami semua turun. Lantas, kedatangan kami disambut oleh embun tipis menyelimuti rerumputan hijau, sehingga menciptakan kilauan yang mempesona di bawah sinar matahari fajar. Udara segar dan harum dari tanah basah menambah keindahan alami lembah tersebut.
Pemandu wisata kami -- seorang pria tua dengan sorot mata tegas dan bijak, bernama Pak Landa -- menjelaskan bahwa kami akan melakukan pendakian ringan untuk mencapai sebuah pondok yang terletak di tepi puncak lembah. Pondok itu menyajikan pemandang Lembah Sunyi yang fantastis dan menawarkan fasilitas kantin untuk para turis yang singgah. Untungnya, pendakian ini dirancang ramah semua umur dan kalangan -- terlebih untuk para manula dan disabilitas.
Lalu, Pak Landa memberi pengarahan tentang banyaknya peraturan di Lembah Sunyi. Ada larangan untuk tidak meninggalkan jalur pendakian, menjaga kelestarian alam, dan tidak membuang sampah sembarangan. Namun, ada juga larangan ganjil seperti tidak boleh berinteraksi atau menyapa orang-orang khusus -- jika kami bertemu mereka di lembah tersebut.
Orang-orang khusus itu dideskripsikan mengenakan pakaian serba hitam, dan membawa sebuah payung kuno besar hingga menutupi bagian atas tubuh mereka. Oleh karena itulah, tidak ada yang bisa melihat wajah mereka sehingga menciptakan kesan misterius.
Pak Landa menegaskan bahwa melanggar larangan ganjil tersebut, maka akan ada konsekuensi yang mengerikan; di mana si pelanggar akan menghilang dan tidak akan pernah ditemukan lagi. Atau dalam skenario paling buruk, seluruh anggota tur bisa ikut menghilang. Walhasil, fenomena mengerikan tersebut membuat lembah ini memiliki nama lain yang hanya populer di kalangan penduduk lokal, yaitu "Salobang Pote' Matinggung", yang artinya "Lembah Hilang yang Mencekam".
Meskipun begitu, kami semua setuju untuk mematuhi setiap aturan yang ada. Walau imajinasi liar akan kehadiran orang-orang misterius itu membuat kami terpecah menjadi dua kubu. Bagi mereka yang penakut dan percaya takhayul, maka akan berdebar-debar hatinya. Namun, bagi mereka yang skeptis dan logis, mereka tidak ambil pusing walau tetap menghormati larangan tersebut. Akan tetapi, ada satu turis yang memiliki watak sok pintar, sok tahu dan tampaknya dia tidak peka atau tidak mau tahu dengan lingkungan sekitar.
Dia adalah Bu Sumiyati, seorang perempuan berusia kepala enam yang memakai kacamata tebal dengan bingkai plastik yang sudah pudar warnanya, sehingga terlihat sedang melihat dunia melalui lensa yang buram. Rambutnya yang sudah memutih ditata rapi dalam kepang klasik, dan dia selalu mengenakan kerudung yang cenderung terlalu besar untuk kepalanya. Wajahnya dipenuhi keriput yang menyiratkan usia yang telah lama, dan matanya terlihat selalu waspada -- siap untuk mencari kesalahan atau ketidakcocokan di sekelilingnya. Setiap gerakan atau ekspresi wajahnya mencerminkan sikapnya yang angkuh dan sinis, seolah dia adalah pakar dalam segala bidang.
Apabila para turis mendengarkan arahan dan peraturan yang diberikan Pak Landa secara seksama, Bu Sumiyati justru tenggelam dengan ceritanya sendiri. Bahkan, terkadang dia mengolok dan berkomentar sinis terhadap peringatan dari Pak Landa, terutama tentang kehadiran orang-orang khusus. Seakan-akan dia gemar meremehkan segala hal di luar pemahamannya yang sempit.
****
Dengan penuh kewaskitaan, kami mulai mendaki ke atas lembah yang tidak terlalu lebat namun juga tidak terlalu gersang. Di antara pepohonan yang rimbun, sinar matahari terfilter dengan cantik, sehingga menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di tanah. Setiap langkah kami dihadapkan dengan jurang-jurang sedikit curam; namun posisi kami masih aman berkat adanya pagar pembatas yang terbuat dari kayu tebal, beserta luas jalan yang cukup lebar.
Saat kami mencapai pos peristirahatan di tepi lembah, suasana terasa damai. Para turis tersebar di sekitar area, beristirahat dan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Beberapa dari mereka duduk di batu besar, sementara yang lain berjalan-jalan di sekitar area pos demi mengabadikan panorama lembah dengan kamera mereka masing-masing.
Namun, di antara keramaian para turis dan kemegahan alam yang memikat, seketika mataku menangkap kehadiran beberapa sosok ganjil yang berdiri di pinggir tebing. Mereka berpakaian serba hitam dan memegang payung kuno besar berwarna merah yang terlihat usang -- menutupi bagian atas tubuh mereka, terutama bagian wajah dari pandanganku. Mereka seperti bayangan hidup yang terlupakan oleh waktu dan menatap horizon yang jauh, seolah menunggu sesuatu yang tak terucap.
Sensasi aneh mulai merayap di belakang leherku saat menyaksikan hal tersebut. Itu seperti sebuah premonisi akan sebuah ancaman, namun terkubur dalam ketenangan alam yang semu. Di saat itulah, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah naluriku memberi peringatan keras, bahwa mereka bukanlah manusia. Melainkan suatu entitas yang lebih tua; lebih gelap dari alam semesta itu sendiri; atau bahkan di luar jangkauan pengetahuanku sebagai manusia biasa. Aku merasakan adanya kekuatan kosmik jahat yang menakutkan sedang mengawasiku beserta rombongan tur lainnya, dengan kegigihan yang tidak manusiawi.
Namun, di antara kerumunan turis yang sedang beristirahat dan sibuk mengabadikan lanskap alam, mataku tertuju pada Bu Sumiyati yang dengan yakin menghampiri sosok-sosok berpayung kuno tersebut. Dengan sikapnya yang pongah dan apatis, dia mulai menanyakan beberapa pertanyaan acak, entah itu tentang letak bilik kecil atau hal lainnya yang mungkin terlintas dalam pikirannya. Namun, tanpa sedikitpun memberi respon, sosok-sosok itu tetap bersikap dingin dan tidak mengindahkannya. Walhasil, terpicu kemarahan di dalam diri Bu Sumiyati.
Dengan sorot mata yang tajam dan panas, Bu Sumiyati melempar cacian dan celaan terhadap sosok-sosok itu. Lalu, dengan pongahnya, dia meninggalkan mereka. Di saat itulah, aku merasakan hawa aneh terpancar dari sosok-sosok tersebut -- rasa ketidakamanan yang tak terucap semakin menghantui atmosfer lingkungan sekitar, melayang di antara angin yang berhembus dingin.
Perihal ganjilnya, meski kejadian tersebut berlangsung di tengah kerumunan turis, tapi tidak ada satupun dari mereka yang menyadari peristiwa tersebut. Mereka terlalu sibuk menikmati pemandangan alam yang menakjubkan atau tenggelam dalam obrolan ringan yang mereka lakukan. Pak Landa -- si pemandu wisata yang seharusnya menjadi orang yang paling waspada -- juga tidak menyadari adanya ketegangan yang sedang terjadi di antara rombongan turisnya. Dia terlalu sibuk menjelaskan tentang pemandangan alam dan memberi informasi tentang budaya serta tradisi lokal kepada para turis yang memiliki semangat keingintahuan yang tinggi.
Aku sendiri merasa terbebani dengan ketakutan yang hadir secara misterius, sehingga menggerogoti sendi-sendi keberanianku untuk menegur Bu Sumiyati atau hanya sekedar berada di dekat sosok-sosok tersebut. Meski dorongan moral membara untuk melakukannya, tapi rasa takut dan ketidakpastian telah memadamkannya. Seolah-olah aku sedang diperingatkan bahwa tindakan tersebut dapat membawa konsekuensi yang tidak terduga. Walhasil, aku memilih untuk tetap diam -- berpura-pura tidak melihat peristiwa tersebut.
****
Selang beberapa waktu kemudian, Pak Landa memberi sinyal bahwa pendakian akan dilanjutkan. Dengan hati yang masih terbebani oleh ketegangan dan kebingungan, aku memulai perjalanan bersama para anggota tur lainnya, menuju ke puncak lembah. Akan tetapi, di tengah perjalanan, suasana antusias pecah menjadi histeria saat salah satu anggota tur menyadari bahwa kami kehilangan Bu Sumiyati.
Mereka ingat betul, bahwa Bu Sumiyati masih bersama kami ketika meninggalkan pos peristirahatan. Bahkan, saat terakhir kali Bu Sumiyati terlihat, dia sedang berada di barisan yang paling belakang dari rombongan tur kami. Sontak, gelombang kepanikan serta kecemasan pecah dan bergelombang.
Pak Landa yang menyadari hal itu, ekspresinya berubah menjadi panik. Lantas, dia segera menghentikan perjalanan dan berkata;
"Dengar semuanya! Kita harus kembali ke pos peristirahatan sekarang juga!" ujarnya dengan suara gemetar, karena dia mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya.
Lantas, dengan perasaan gelisah, rombongan tur bergegas kembali ke pos peristirahatan sebelumnya. Langkah-langkah mereka terasa sangat berantakan, meski Pak Landa sudah berulang kali memperingatkan kami untuk tetap tenang dan memprioritaskan keselamatan. Namun, tiba-tiba ada salah seorang anggota tur yaitu Pria Kurus menjerit;
"Pak Landa, lihat!" serunya sambil menunjuk ke arah tanah di samping jalan setapak.
Pak Landa segera berjalan mendekati tempat yang ditunjuk, diikuti oleh rombongan lainnya. Di tanah itulah, tergeletak sebuah kacamata tebal dengan bingkai plastik yang sudah pudar warnanya. Saat Pak Landa meraih kacamata itu dari tanah yang lembab dan memeriksanya, lalu matanya jatuh ke dalam jurang kepanikan.
"I... Ini milik Bu Sumiyati!" bisiknya dengan wajah pucat.
Ketika kami menatap kacamata itu, lantas hati kami terkesiap dan bergidik ngeri. Seolah-olah kehadiran benda itu telah mengirim getaran yang tidak terungkap ke dalam hati dan jiwa kami. Perlahan-lahan, timbul perasaan tidak nyaman dengan lingkungan sekitar; serasa ada sesuatu yang mengintai di balik bayangan-bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Bahkan, setiap suara gemuruh dari dedaunan atau dahan yang patah membuat hati kami berdegup kencang, menyebarkan kengerian yang tumbuh menjadi bayangan liar dan jahat di dalam pikiran kami.
"Apa artinya ini, Pak Landa?" tanya seorang anggota tur lainnya, yaitu Pria Atletis, dengan suara sedikit bergetar takut.
Pak Landa mencoba menenangkan diri dan menjawab;
"Aku tidak yakin. Tetapi kita harus segera kembali ke pos peristirahatan dan melaporkan ini kepada pihak berwenang. Kita tidak boleh tinggal di sini lebih lama!"
Setelah mendengar jawaban Pak Landa, kami segera mengikuti perintahnya dengan penuh kecemasan. Langkah-langkah menjadi lebih cepat dan panik, diiringi oleh rasa takut yang menggelayuti pikiran terliar kami.
****
Singkat cerita, setibanya di pos peristirahatan, Pak Landa segera menghubungi pihak berwenang untuk melaporkan kejadian tersebut. Namun, meski upaya pencarian telah dilakukan, Bu Sumiyati tidak kunjung ditemukan. Walhasil, kegiatan tur dihentikan, walau upaya pencarian masih tetap dilakukan dan lebih intensif.
Singkat cerita, kami akhirnya dipulangkan ke Jakarta dan mencoba melanjutkan kehidupan sehari-hari seperti biasa. Namun, bayang-bayang tentang nasib Bu Sumiyati masih menghantui dan meninggalkan segudang teka-teki. Bahkan setelah lima bulan berlalu, Bu Sumiyati masih belum ditemukan dan para anggota tur masih rutin mengikuti perkembangan beritanya melalui grup WhatsApp.
Hari demi hari berlalu, dan roda kehidupan terus berjalan seperti biasa di tengah hiruk pikuk kota besar. Kegiatan kantor dan rutinitas harian sedikit membantuku untuk mengalihkan perhatian dari kegelisahan yang masih menghantuiku.
Meski demikian, aku masih bergidik ngeri, terutama ketika aku melihat kacamata yang serupa dengan milik Bu Sumiyati di meja kerja kolegaku, atau ketika terlintas bayangan wajahnya di antara kerumunan orang di jalan-jalan metropolis. Tidak peduli seberapa sibuk aktivitasku; tidak peduli seberapa besar ketidaksukaanku terhadap sikap Bu Sumiyati di sepanjang tur; tidak peduli seberapa keras upayaku untuk mengalihkan pikiranku; aku masih tetap menaruh rasa penasaran dan khawatir atas nasibnya.
Sampai pada akhirnya, aku menyempatkan waktu untuk mencari tahu lebih dalam tentang Lembah Sunyi, atau Salobang Pote' Matinggung. Aku telah menelusuri artikel-artikel dan buku-buku di internet hingga perpustakaan konvensional. Untungnya, usahaku membuahkan hasil yang sebenarnya aku merasa lebih baik tidak mengetahuinya. Aku menemukan informasi dari sebuah buku tua di salah satu perpustakaan tua di daerah Jakarta Selatan, yang isinya membahas tradisi-tradisi mengerikan di Nusantara.
Negara kita adalah negara yang kaya akan ilmu spiritual dan hal-hal yang sulit dijelaskan secara sains. Mereka memiliki tradisi dan kepercayaan yang heterogen, absurd dan mengerikan. Salah satunya ada di Sulawesi Selatan, terutama di Lembah Sunyi. Berdasarkan informasi yang kubaca dari buku tua itu, dulunya lembah itu dihuni oleh para penduduk yang menyembah sosok Datupasang.
Datupasang sendiri dipercaya sebagai sosok dewa kuno yang memiliki kekuatan besar yang mampu mengendalikan alam dan takdir manusia. Tidak ada gambaran secara spesifik mengenai Datupasang, selain sebuah lukisan gua di beberapa lokasi, khususnya di Sulawesi Selatan. Dalam lukisan tersebut, Datupasang digambarkan sebagai sosok raksasa dengan rupa mengerikan -- bagaikan mayat hidup bermata merah, dan mengenakan kain hitam yang mirip jubah malaikat kematian. Itu hanya satu-satunya deskripsi yang rinci mengenai Datupasang.
Konon, para penduduk yang menyembah Datupasang suka melakukan ritual-ritual persembahan yang mengerikan, berupa pengorbanan manusia untuk menyenangkan dewa mereka. Bahkan, tidak jarang mereka menculik warga dari desa tetangga dan musafir, hanya sekedar untuk dijadikan persembahan. Karena kengerian dan kebiadaban dari praktik ritual mereka, maka penduduk sekitar menyebut mereka sebagai "To Bala' Datupasang", yang berarti "Para Iblis Penyembah Datupasang".
Namun, akhir dari kisah para penyembah Datupasang berakhir dengan dua versi sejarah yang berbeda. Berdasarkan versi sejarawan Eropa, praktik ritual mengerikan untuk menyembah Datupasang telah dihentikan secara paksa oleh pemerintah kolonial Belanda, setelah mereka berhasil menguasai daerah tersebut. Akan tetapi, berdasarkan versi penduduk lokal, pedesaan itu dihancurkan oleh penduduk sekitar yang mengamuk, dengan sedikit bantuan dari tentara kolonial Belanda yang memanfaatkan konflik horizontal demi menguasai dan menjadikan lembah tersebut sebagai tempat bisnis dan pariwisata. Entah mana yang benar dari kedua versi tersebut, yang pasti ritual To Bala' Datupasang berakhir di era kolonial Belanda.
Kini, para penduduk lokal mempercayai roh-roh mereka masih berkeliaran di lembah tersebut, mencari korban baru untuk melanjutkan ritual pengorbanan mereka. Karena fenomena orang hilang tanpa jejak di lembah tersebut masih terjadi hingga saat ini, walau tidak semasif dulu. Oleh karena itulah, penduduk menamai lembah tersebut dengan Salobang Pote' Matinggung; dan singkat cerita -- berkat investigasi spiritual dari tokoh-tokoh adat sekitar -- lahirlah peraturan ganjil tersebut demi meminimalisir fenomena orang hilang. Di sisi lain, secara kehidupan sosial dan budaya dari penduduk setempat, nama Datupasang dan To Bala' Datupasang menjadi kata atau kalimat pamali untuk diucapkan di daerah tersebut.
****
Hingga pada suatu senja, ketika hujan deras mengguyur Jakarta dengan gemuruh petir yang menggetarkan jiwa, sehingga menciptakan perpaduan antara atmosfer melankolis dan horor. Cahaya senja yang semakin memudar di balik awan kelabu, menciptakan serangkaian bayangan misterius di sepanjang jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Lampu-lampu jalan yang redup bersinar samar di tengah kabut hujan, seperti titik-titik bintang di dalam kegelapan yang kian menyelimuti kota. Di saat itulah, aku sedang pulang dari kantor menggunakan taksi, karena kebetulan hari itu aku sedang tidak membawa mobil.
Di dalam taksi yang melaju secara perlahan di tengah kemacetan lalu lintas, aku terduduk muram -- memperhatikan setiap tetesan hujan yang mengalir di jendela mobil. Keputusan untuk tidak menggunakan transportasi umum seperti busway atau ojek, terasa bijaksana dalam situasi seperti ini. Akan tetapi, aku juga merasa seperti terperangkap di dalam labirin kota sepah yang padat dan tidak ramah.
Kemacetan yang kian parah, membuat kendaraan-kendaraan terjebak dalam permainan waktu yang tidak berujung. Suara klakson yang bercampur dengan gemuruh petir yang menggema di langit-langit kelabu, menciptakan latar belakang suara menggelisahkan. Sementara itu, gedung-gedung kantor dan ruko tua yang bobrok akibat termakan zaman serta beberapa di antaranya sudah ditinggalkan, berdiri menghiasi sepanjang jalan bagaikan menara kekelaman yang menyimpan misteri di balik jendela-jendela gelapnya. Sedangkan pepohonan yang berdiri sebagai pemisah antara jalan raya dengan kanal, bergoyang-goyang akibat angin kencang, sehingga menciptakan bayangan setan yang menari-nari di atas trotoar basah.
Di tengah perasaan yang terisolasi di tengah hujan, tiba-tiba ponselku berdering. Lantas aku segera membukanya; hanya untuk menemukan pesan ramai dari grup WhatsApp rombongan tur di Lembah Sunyi lalu. Sontak aku segera membukanya, dan langsung mendapati pesan yang banyak dan tak terkendali dari tiap anggota grup.
"Pak Landa menghilang sejak seminggu yang lalu. Dia tidak pernah sampai di rumah setelah pulang dari kantor polisi, setelah dia dimintai keterangan tentang Bu Sumiyati."
"Ya Tuhan, Pak Landa hilang?!"
"Apa ini serius? Bagaimana bisa dia menghilang?"
"Apakah ada yang sudah melaporkannya ke polisi?"
"Bukankah ini terlalu aneh? Bu Sumiyati hilang, sekarang Pak Landa juga?"
Isi percakapan grup semakin ramai dan panik, hingga dipenuhi oleh berbagai macam teori liar dan spekulasi subjektif. Diskusi dan perdebatan semakin memanas, dengan argumen yang terus bertabrakan dan membingungkan.
Ketika kepanikan belum reda, informasi baru datang dengan serangan yang tak kalah mengejutkan. Pria Kurus -- anggota tur yang menemukan kacamata Bu Sumiyati -- juga dilaporkan hilang. Lantas, berita tersebut langsung membungkam sementara percakapan yang heboh untuk menanti sebuah ledakan kepanikan yang lebih besar.
"Apa? Dia juga hilang?"
"Dua orang menghilang dalam waktu singkat? Ini tidak mungkin kebetulan! Ada yang aneh di sini!"
"Kita harus segera bertindak! Ini tidak bisa diabaikan!"
"Bertindak? Bertindak bagaimana? Kita bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi!"
Di tengah aku menyaksikan kekacauan dan kebingungan yang semakin merajalela, tiba-tiba aku terkejut saat mendapati sang supir seketika melompat keluar dari taksinya dan meninggalkanku begitu saja di tengah jalan tanpa alasan yang jelas. Lalu dia menghilang di tengah kepadatan lalu lintas yang diguyur oleh hujan deras -- meninggalkanku dalam kebingungan.
Sedangkan, lampu lalu lintas mulai berganti menjadi hijau dan mobil-mobil di belakang mulai mengklaksoni taksiku. Walhasil, kepanikan kian merasuk ke dalam pikiranku. Tanpa seorang supir, aku terjebak di tengah jalan raya yang penuh dengan kekacauan, tanpa tahu harus berbuat apa. Ketegangan semakin meningkat saat aku merasa mata banyak orang di sekitarku tertuju pada taskiku yang berhenti di tengah jalan dan mengganggu jalur mereka.
Tanpa punya banyak pilihan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil inisiatif pindah ke bangku pengemudi. Dengan hati yang berdebar, aku berusaha menguasai kendali atas mobil taksi tersebut, lalu mengemudikannya secara perlahan menuju sisi jalan yang lebih aman. Aku mencoba untuk tetap tenang; meski dalam hati ada banyak kegelisahan dan kengerian yang semakin memuncak.
Dengan penuh kehati-hatian, aku mencoba untuk mengemudikan taksi ini melalui kekacauan lalu lintas yang semakin buruk. Rencana awalku adalah mencari tempat yang tidak jauh dari lokasi di mana supir taksi meninggalkanku, agar nantinya dia tidak kesulitan mencari taksinya ketika kembali.
Akan tetapi, keadaan di jalan yang begitu kacau dan tidak terkontrol. Mobil-mobil dan motor-motor nekat menyerobot lampu merah secara bergerombol, bahkan memotong jalur hingga melawan arus -- tanpa memperdulikan risiko yang ada. Itu adalah keadaan yang wajar di Jakarta, terutama saat jam pulang kerja. Bahkan polisi pun tampak tidak berdaya dalam mengatur lalu lintas yang semakin parah. Agar tidak terus menerus terperangkap dalam kekacauan ini, aku terpaksa mengubah rencana.
Aku memutuskan untuk mengambil jalur menuju Jalan Angkasa setelah melalui lampu merah. Lebih tepatnya, aku melaju ke terowongan yang mengarah ke Kemayoran. Dengan hati yang berat, aku tidak punya pilihan selain meninggalkan supir taksi di belakang. Sebagai gantinya, aku akan menghubungi pihak perusahaan taksinya setelah tiba di rumah, demi mencegah kesalahpahaman.
Setiba di dalam terowongan, aku seketika mencium aroma yang sangat aneh. Aroma itu seperti gabungan antara rempah-rempah tradisional yang aku tidak pahami, membaur dengan bau amis yang menyengat. Saat mataku mencari tahu asal aroma tersebut, seketika aku secara tidak sengaja melihat ke kaca spion tengah yang menghadap ke bangku belakang, lalu jantungku berguncang dahsyat.
Mataku mendapati sesosok perempuan yang sedang duduk di bangku penumpang belakang, dan memakai jubah hitam yang tampaknya menyerap cahaya di sekelilingnya. Setiap lipatan jubahnya seolah menyimpan rahasia yang tak terungkap, sehingga menambah aura misterius yang menyelimuti dirinya. Dalam kegelapan yang merayap masuk melalui jendela mobil, hanya bayangan samar-samar yang terlihat dari wajahnya yang terbungkus rambut panjang -- bagaikan hantu Sadako dari film Ring, tapi dia tampak lebih berantakan dan menakutkan. Walau aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa merasakan bahwa dia sedang menatapku tanpa henti. Fenomena ini bagaikan sebuah mimpi buruk yang mengerikan!
Dengan setiap gerakan kecilnya, jubah hitamnya bergerak seperti sayap kegelapan yang mengitari tubuhnya, menciptakan gambaran yang menyeramkan tentang kehadiran yang sulit dijelaskan. Dan dalam keheningan yang menegangkan di dalam mobil, hanya suara desiran angin dan kain jubah yang terdengar.
Pemandangan itu benar-benar menggangguku. Aku tidak bisa mengusir perasaan tidak nyaman yang merangkak masuk ke dalam pikiranku, menyadarkanku akan suatu bahaya dari entitas yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Walaupun begitu, dibalik rasa kaget dan takut yang menyelimuti pikiranku, aku tetap berusaha mengendalikan diri untuk tetap fokus mengemudi agar tiba di tujuan dengan selamat.
****
Saat aku berhasil tiba di rumahku, lantas aku segera melompat keluar dari taksi dan berlari masuk ke dalam rumah. Di waktu yang bersamaan, secara sekilas aku lihat perempuan itu masih duduk di bangku penumpang belakang. Dia masih menatap ke arahku dengan mata yang tersembunyi di balik rambutnya yang panjang dan berantakan, sampai-sampai aku kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya.
Setibanya di dalam rumah, aku langsung berteriak panik memanggil pembantuku dan memintanya untuk mengecek bangku penumpang belakang taksi. Namun, ketika dia keluar untuk melihat keadaan, dia tidak menemukan apa-apa selain sebuah mobil taksi tak bertuan yang terparkir di depan rumahku. Justru, pembantuku tampak bingung mengapa aku pulang dengan mengemudi taksi, ditambah dengan wajahku yang terlihat pucat. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci kepadanya, karena lidahku sudah lumpuh sehingga hanya bisa mengeluarkan kata-kata rancu yang membingungkan.
Singkat cerita, aku berhasil menghubungi pihak perusahaan taksi untuk melaporkan peristiwa yang terjadi, dan meminta mereka untuk mengambil taksinya di depan rumahku. Sesudah dari itu, aku segera membasuh diri dan makan malam dan tidur lebih awal.
Namun, ketika aku sedang berjalan ke arah kamar tidur, sekilas aku melihat pembantuku sedang berdiri di depan mobil taksi yang masih terparkir di depan rumah. Dia berdiri dan menatap ke dalam jendela bangku penumpang belakang -- di mana sosok perempuan tadi duduk. Seketika, lahirlah perasaan keingintahuan di batinku, sehingga aku terus mengamati gerak-geriknya.
Di saat itulah, aku mendapat sebuah kesimpulan yang mengerikan, di mana pembantuku tampak sedang berusaha berkomunikasi dengan sosok itu. Namun kali ini aku tidak melihatnya melalui kedua mataku, melainkan suara tanpa tuan yang terdengar seperti bisikan samar.
Aku berusaha menajamkan telingaku, agar aku bisa menangkap kata demi kata. Alih-alih mendapatkan inti percakapan mereka, justru aku mendapatkan bahasa yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Bahasa yang mereka pakai seperti bahasa daerah Sulawesi Selatan, tapi terdengar sangat kuno dan asing.
Di saat itulah, tiba-tiba aku merasakan hawa dingin yang menggerogoti tulang belakangku. Rasa gejolak takut mulai membungkus diriku. Kali ini, aku tidak dapat mengusir perasaan ngeriku; dan berbagai macam pertanyaan mulai menggelinding di pikiranku, terutama saat pembantuku beranjak memasuki rumah.
Setelah dia tiba di dalam rumah, aku segera bertanya kepadanya tentang perihal yang dia lakukan tadi. Tetapi pembantuku tidak menghiraukanku dan terus berjalan melewatiku tanpa sepatah kata, seolah dia tidak menyadari kehadiranku. Aku mencobanya memanggilnya sekali lagi dengan nada yang lebih keras. Akan tetapi, tidak ada reaksi apapun dari dari pembantuku.
Lantas aku segera mengejar dan memanggilnya dengan nada yang lebih keras lagi. Sampai pada akhirnya dia menoleh ke arahku, dan sontak aku bergidik ngeri. Aku melihat sebuah tali pocong yang samar mengikat kepalanya -- menutup kedua telinganya sehingga dia tidak bisa mendengar apa-apa dariku. Matanya terlihat kosong, seolah dia hilang kesadaran.
Ketakutan semakin melonjak di dalam diriku. Apa yang telah terjadi dengannya? Apa yang mengendalikan dirinya? Sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi, dan aku tidak tahu apa langkah selanjutnya yang harus kuambil.
Tiba-tiba, secara tidak sengaja, kedua mataku menangkap beberapa sosok hitam berdiri di belakang pembantuku. Masing-masing dari mereka memegang sebuah payung kuno berwarna merah berukuran besar hingga menutupi kepalanya -- sama persis seperti yang kulihat di Lembah Sunyi.
Sontak aku menjerit histeris dan hendak lari ke pintu keluar rumah. Namun, saat aku baru saja membalikkan badan, seketika lingkungan di sekitarku berganti secara gaib. Rumahku yang sebelumnya adalah tempat perlindungan teramanku, kini berubah menjadi sebuah lembah yang sunyi, gelap dan menakutkan.
Aku terdiam syak, bingung dan ngeri. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, selain terpaku oleh pemandangan yang terbentang di hadapan kedua mataku. Tidak jauh dari lokasiku berada, terlihat sebuah gua yang menakjubkan -- terbuat dari bebatuan kristal hitam yang kasar. Dan di dalam gua itu, aku melihat sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding.
Beberapa anggota turku -- termasuk Bu Sumiyati, Pak Landa dan Pria Kurus -- terlihat terikat di dalam gua itu, dan membaur bersama tumpukan mayat membusuk dalam bentuk yang beragam. Mereka seperti bayangan dari mimpi yang paling buruk dan mengerikan; mata yang tercongkel, telinga yang terputus, perut yang robek, dan leher yang tergorok menganga. Mereka tergeletak di atas tanah, dan saling bertumpuk menjadi bukit -- bagaikan boneka-boneka organik yang tak berdaya.
Kengerian kian menyelimuti diriku, saat aku mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Keheningan mencekam di sekitarku hanya menambah ketidakpastian yang melanda pikiranku. Aku merasa terperangkap di dasar jurang neraka jahanam, dan satu-satunya hal yang kuinginkan hanya berharap ini cuman mimpi buruk dan segera terbangun.
Di tengah bekuan dalam ketakutan, secara tidak sengaja aku membalikkan pandanganku ke sudut yang lain, dan mendapati sekerumunan sosok berpakaian hitam yang melambai-lambai berdiri di hadapanku. Kali ini mereka menunjukkan keberadaannya yang mengerikan, dengan wajah yang tidak lagi tersembunyi di balik payung besar kuno berwarna merah.
Wajah mereka pucat kebiru-biruan, membuatnya terlihat seperti sosok iblis durjana yang menakutkan. Matanya berukuran besar dan berwarna hitam pekat bagaikan boneka, seakan menyerap segala cahaya di sekitarnya. Dan yang paling menakutkan dari semua itu adalah senyuman mereka -- menyeringai dari telinga hingga ke telinga satunya, sambil memperlihatkan deretan gigi-gigi hitam yang tajam bagaikan pisau.
Saking takutnya melihat wajah mereka, aku sampai tidak bisa bergerak; tidak bisa berbicara; bahkan tidak bisa melakukan apapun selain menatap dengan penuh kengerian pada sosok-sosok yang sedang menatapku. Bahkan energiku hampir mendekati batas untuk bisa terjatuh pingsan. Walakin, itu bukan satu-satunya pemandangan paling horor yang kusaksikan -- sebelum aku merasakan desiran angin yang datang dari arah belakang sosok-sosok iblis itu, dan menghantam tubuhku secara keras. Di saat itulah, mataku mendapati sebuah pemandangan yang jauh lebih buruk dan mengerikan daripada apa yang bisa kubayangkan dengan imajinasi paling liarku.
Aku mendapati sesosok raksasa yang bersembunyi di balik kegelapan, tanpa bisa memahami atau mendeskripsikannya secara visual atau rinci -- selain bertubuh yang sangat besar, tinggi, menyatu dengan kegelapan yang menyamarkan, memiliki sepasang bola mata berwarna merah mencekam, serta asap yang keluar dari mulut dan hidungnya. Aku benar-benar bergidik ngeri selama menyaksikan sosok raksasa terkutuk itu!
Kemudian, aku mendengar suara serak dari salah satu sosok yang tidak lain adalah perempuan yang duduk di bangku belakang taksi. Suaranya merayap masuk ke dalam telingaku, menggema dengan ancaman yang menggetarkan jiwa. Dia menyampaikan dalam bahasa Sulawesi Selatan kuno dan asing di telingaku; tapi secara ghaibnya aku bisa memahami inti kalimatnya.
"Kini kamu adalah selanjutnya!" desisnya dengan diikuti bacaan mantra ritual dari sosok-sosok yang lainnya.
Kemudian, perempuan itu melaju dengan cepat bagaikan cahaya ke arahku. Kemudian, kedua tangannya yang dingin tiba di wajahku. Belum sempat bereaksi, seketika aku merasakan adanya tusukan di kedua bola mataku, sehingga menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Aku lantas berteriak dalam keputusasaan.
Kini, mukaku dibasahi oleh cairan hangat dan amis yang keluar secara deras dari kedua lubang di mataku. Sedangkan pandanganku menjadi gelap gulita. Aku tidak bisa melihat sekelilingku lagi, selain mendengar serangkaian mantra-mantra ritual dari para iblis, sambil menanti tahap penyiksaan berikutnya dari praktik ritual persembahan kepada Datupasang. Itu adalah hal terakhir yang bisa kutangkap, sebelum semuanya hilang menjadi ketidakpastian.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H