Lihat ke Halaman Asli

Misteri Si Jubah Hitam Tanpa Kepala

Diperbarui: 30 Desember 2021   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Film "Hantu Jeruk Purut" (2006)

Seharusnya acara live-in kampus - di salah satu daerah di Jawa Timur - ini dapat membuat kita menjadi dewasa dan mandiri. Bahkan sepulang dari acara tersebut, seharusnya kita juga membawa berbagai macam pengalaman inspiratif yang dapat kita bagikan ke sesama kita. Akan tetapi, aku merasa terlalu banyak berandai-andai untuk mengharapkan hal itu. Karena pada kenyataannya, tidak dengan demikian. Tidak dengan temanku yang bernama Yudis.
 
Semenjak pulang dari acara live-in kampus; dia jatuh sakit. Bahkan dia sampai harus mengambil cuti kuliah selama dua pekan dan harus menginap di rumah sakit. Aku tidak tahu jelas mengenai penyakit yang diderita oleh Yudis. Namun keluarganya hanya memberitahu bahwa Yudis terkena demam.
 
Yudis sering menggeligis dan mengigau di malam hari. Bahkan dia bisa menjerit-jerit tidak keruan dan melontarkan kata-kata aneh. Puncaknya, Yudis dapat menyerang semua orang yang ada di sekitarnya secara membabi buta, seperti orang yang kesetanan. Melihat keadaan itu, pihak dokter tidak mengizinkan Yudis untuk ditinggal sendirian, untuk mencegah terjadinya hal buruk.
 
Mendengar kabar tersebut, aku bersama salah seorang teman dekatku - bernama Mikel - memutuskan untuk membesuknya. Meskipun pada awalnya kami merasa ragu, tapi rasa iba dan ingin tahu akan kondisi Yudis telah menguatkan tekad kami untuk membesuknya. Walhasil, kami mencari hari yang senggang, agar kami punya banyak waktu saat besuk.
 
Pada akhirnya, kami memutuskan untuk memilih hari Jum'at pada waktu senja sebagai hari besuk. Tepatnya setelah kami selesai kelas. Sebab itu adalah jadwal yang paling senggang bagi kami; sebagai mahasiswa semester empat yang sedang sibuk-sibuknya kuliah. Selain itu, kebetulan jam besuk Yudis juga berada di sekitaran jam lima sore sampai jam tujuh malam.
 
Lokasi tempat kosan kami dengan rumah sakit Yudis lumayan jauh, yaitu berjarak 10,6 km dan membutuhkan 37 menit perjalanan. Ditambah dengan keadaan lalu lintas yang padat, karena jam orang pulang kerja atau keluar jalan-jalan untuk menyambut akhir pekan. Untungnya Mikel mempunyai sebuah motor bebek, sehingga kami dapat menghemat waktu dengan mengambil beberapa jalan tikus sebagai jalan alternatif.
 
****
 
Setibanya di rumah sakit yang terletak di Jakarta Pusat. Aku melihat bahwa rumah sakit itu berbentuk seperti bangunan era 90-an. Akan tetapi, bangunan tersebut masih terlihat lebih modern daripada bangunan-bangunan sekitarnya yang terlihat seperti bangunan era 60 hingga 70-an.
 
Setelah Mikel memarkirkan motornya, lantas kami bergegas masuk ke dalam rumah sakit - melalui pintu utama - dan menuju lantai tempat Yudis dirawat; sesuai dengan informasi yang telah diberikan oleh orang tuanya. Sesampainya kami di lantai tempat Yudis dirawat, kami langsung menuju lorong penginapan pasien. Disana kami bertemu dengan ayah Yudis yang sedang duduk di bangku lorong, seolah sedang menanti kedatangan kami. Lantas ayah Yudis menyambut kedatangan kami dengan hangat, dengan wajah yang menyembunyikan rasa kesedihan.
 
Kemudian ayah Yudis langsung mengajak kami untuk masuk ke kamar pasien - tempat Yudis dirawat - yang bertuliskan nomor 404 di pintunya. Sesampainya di dalam, kami mendapati Yudis yang sedang duduk di atas kasur dengan raut wajah ketakutan dan tubuh yang menggeligis. Sedangkan ibu Yudis sedang duduk di samping kanan kasur rawatnya, dengan ekspresi yang resah.
 
"Ezra... Mikel... Terima kasih kalian sudah mau datang." ujar ibu Yudis menyambut kedatangan kami dengan ramah.
 
"Iya bu, sama-sama." jawab kami dengan gugup.
 
"Apakah ada perkembangan dari keadaan Yudis, bu?" tanya Mikel dengan sopan.
 
Ibu Yudis hanya terdiam, seakan memberi sinyal bahwa tidak ada perkembangan dari keadaan Yudis. Kami yang menyadari sinyal tersebut, hanya bisa terdiam seakan ikut terbawa suasana yang pilu.
 
"Hai Yudis, bagaimana kabarmu?"sapaku.
 
Yudis tidak menjawab sapaku. Dengan gestur yang sama, Yudis hanya berbicara sendiri dengan nada rendah dan gelisah.
 
“Dia akan datang! Dia akan datang! Dia akan datang!” ujar Yudis sembari mengulang-ulang kalimat tersebut tanpa henti.
 
Aku dan Mikel hanya bisa menatapnya dengan ganar.
 
Tiba-tiba Yudis menjerit histeris, sembari berkata;
 
"Tidak! Dia datang! Dia datang!"
 
Ibu Yudis yang melihat keadaan putranya tersebut, langsung bergegas menekan tombol bantuan. Seolah-olah dia sudah mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi. Sedangkan bapak Yudis bergegas berlari keluar kamar untuk meminta pertolongan.
 
Mikel yang penasaran dengan ucapan Yudis, langsung bertanya;
         
“Siapa yang datang, Dis?”
 
Namun Yudis tidak menjawab dan berteriak;
 
"Dia datang! Dia datang! Dia datang! Dia datang!"
 
Lantas Yudis menutup kedua telinganya dengan tangannya. Matanya mulai berair. Terlukis jelas di raut wajahnya; sebuah rasa ketakutan yang teramat sangat. Seolah-olah Yudis sedang menghadapi sesuatu yang sangat mengerikan.
 
Selang tidak lama kemudian, tubuh Yudis mendadak menggeliat dan bergetar keras. Lantas, semua orang yang ada di ruangan itu menjadi panik. Aku bersama Mikel berusaha menenangkannya. Sedangkan ibu Yudis hanya menangis pasrah melihat keadaan putranya, seperti sudah menyadari bahwa tidak ada cara untuk menenangkannya.
 
Ketika aku memegang kedua lengan Yudis untuk menyadarkannya; seketika dia memelukku seperti anak kecil yang ketakutan.
 
“Dia sudah datang!” ujar Yudist dengan gemetar.
 
“Dia siapa? Siapa yang datang?” tanyaku.
 
Lantas Yudis berbisik ke telingaku. Sedangkan Mikel langsung memasang telinganya untuk ikut mendengarkannya.
 
“Aku tidak tahu siapa dia. Aku hanya tahu bahwa dia selalu datang ke kamarku di malam hari. Memanggil-manggil namaku.” bisik Yudis sambil memelukku dan menangis seperti anak kecil, "Dia tinggi! Berjubah hitam! Sering membawa lentera hijau.”
 
Aku dan Mikel terdiam seribu bahasa dengan ekspresi bingung dan penasaran.
 
“Kenapa dia mendatangimu?” tanyaku.
 
“Katanya dia ingin membawaku pergi.” jawab Yudis.
 
“Bawa pergi? Kemana?” balasku yang semakin kebingungan.
 
“Aku tidak tahu!”
 
"Sejak kapan dia mendatangimu?” tanya Mikel yang semakin penasaran.
 
“Semenjak pulang dari live-in!”
 
Sontak kami terdiam seribu bahasa.
 
Kemudian Yudis menjelaskan bahwa sejak pulang dari live-in, dia sering sekali didatangi oleh sosok tersebut. Sosok itu berjenis kelamin pria dan tidak memiliki kepala. Dia selalu datang setiap malam hari dan memanggil-manggil nama Yudis - dengan nada suara yang garau - dari depan jendela kamar tidur, sembari membawa sebuah lentera berwarna hijau. Bahkan, tidak jarang sosok tersebut menghasut Yudis untuk mengakhiri hidupnya.
 
Mendengar cerita itu, aku dan Mikel hanya terdiam seribu bahasa dan bergidik ngeri.
 
Tiba-tiba Yudis langsung mengeluarkan ekspresi terkejut. Kedua matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar - seperti orang tercekik - sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah jendela kamar rawat.
 
“Itu dia!” ujar Yudist dengan panik, “Dia ada di depan jendela!”
 
Lantas aku dan Mikel menoleh ke arah jendela. Tetapi kami tidak melihat apapun di sana. Walakin, kami bisa merasakan atmosfer yang menyeramkan, sehingga membuat bulu kuduk kami berdiri.
 
"Tidak ada siapa-siapa di jendela itu, nak!" ujar ibu Yudis dengan raut wajah sedih dan panik.
 
Aku bergegas melihat keluar jendela itu. Namun aku masih belum menemukan tanda-tanda akan kehadiran sesuatu. Hanya ada langit malam yang gelap dengan dihiasi oleh lampu-lampu gedung yang mengelilingi gedung rumah sakit, serta kebisingan lalu lintas yang mewarnai kehidupan panorama tersebut.
 
Lagipula, aku juga ragu bila ada orang yang mengintip masuk dari luar jendela kamar rawat itu. Sebab, kamar rawat Yudis berada di lantai lima, dengan pemandangan yang mengarah ke lapangan parkir.
 
Sewaktu aku mengembalikan pandanganku ke Yudis, aku mendapatinya sedang meronta-ronta seperti orang kesetanan dan menjerit tidak keruan. Kemudian dia mulai mengambil barang yang dia temui dan melempar ke sekelilingnya dengan membabi buta.
 
Beruntungnya, ayah Yudis berhasil kembali bersama dokter dan beberapa perawat. Lantas mereka langsung mengikat Yudis - yang sedang mengamuk seperti orang gila - di kasurnya. Kemudian dokter itu langsung menyuntikkan obat tidur ke lengan Yudis.
 
Keadaan yang kacau tersebut, telah membuat para perawat meminta kami untuk meninggalkan kamar rawat Yudis, dengan alasan keamanan. Lantas ayah Yudis langsung menghantarkan kita keluar, sedangkan ibu Yudis tetap tinggal bersama Yudis yang sedang terikat di kasur rawatnya.
 
****
 
Peristiwa tersebut telah membuat kami menjadi terkesiap. Sebab perilaku tidak wajar Yudis sangatlah mengganggu dan menyeramkan. Selayaknya seekor orangutan yang terkena rabies. Ayah Yudis hanya meminta maaf atas kejadian tadi.
 
Alhasil, kami berjalan bersama ayah Yudis menuju pintu masuk utama, sembari berbincang-bincang. Ayah Yudis melemparkan banyak pertanyaan kepada kami, mengenai kegiatan Yudis selama live-in. Walakin, kami tidak dapat bercerita banyak mengenai aktivitas Yudis. Sebab kami berada di dusun yang berbeda dengan dusun Yudis, sehingga kami menjadi jarang bertemu dengannya selama live-in.
 
Ayah Yudis hanya menghela nafas saat mendengar penjelasanku. Terlintas raut wajah kecewa, karena tidak mendapatkan titik terang mengenai kegiatan Yudis selama live-in. Lantas ayah Yudis hanya mengucapkan rasa terima kasih kepada kami dan pamit untuk kembali ke kamar rawat Yudis.
 
Sewaktu melihat kepergian ayah Yudis, kami juga merasa sedih karena tidak dapat membantu banyak teman kami. Walhasil, kami memutuskan untuk kembali ke kosan dengan perasaan gundah.
 
****
 
Setibanya di tempat parkir, seketika kami mendengar sebuah benda jatuh yang menghantam sebuah mobil. Karena suaranya sangat keras dan tidak jauh dari lokasi kami berada; lantas kami terkejut dan menoleh ke arah asal suara tersebut.
 
Disana kami mendapati seorang pasien yang baru saja melompat keluar dari jendela kamar rawat dan mendarat di atap mobil ambulans - yang baru saja terparkir di depan pintu UGD - hingga menjebol masuk ke dalamnya. Lantas peristiwa tersebut telah membunuh seorang pasien dan melukai dua tenaga medis yang masih berada di dalam mobil ambulans itu.
 
Sedangkan kondisi pasien yang mendarat di mobil ambulans tersebut, berada dalam keadaan yang sangat mengerikan. Tubuhnya hancur dan kepalanya terputus. Darahnya mulai bersibaran ke mana-mana, sehingga mewarnai tubuh mobil ambulans itu menjadi merah. Alhasil, semua orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi histeris. Para satpam dan tenaga medis langsung bergegas mengevakuasi para korban yang di dalam mobil ambulans tersebut.
 
Di tengah keadaan yang ricuh tersebut, seketika terdengar - secara samar - suara jerit seorang perempuan dari atas rumah sakit. Lebih tepatnya dari salah satu jendela kamar rawat di atas gedung. Lantas aku menoleh ke arah asal suara tersebut. Setelah aku berhasil menangkap sosok perempuan yang sedang menjerit itu, seketika dadaku terasa sesak.
 
Perempuan itu adalah ibu Yudis. Dia menjerit-jerit memanggil nama putranya dengan sangat histeris. Bahkan dia hendak ikut melompat keluar dari jendela. Walakin berhasil dicegah oleh suaminya bersama dokter dan beberapa perawat.
 
****
 
Menurut kesaksian pihak rumah sakit dan orang tua Yudis yang sedang berada di ruang rawat itu; mereka semua mengatakan bahwa Yudis - yang baru saja disuntik obat tidur - mendadak terbangun, memutuskan semua tali pengikatnya, dan langsung melompat ke arah jendela. Kejadian itu berlangsung cepat dan semua orang yang ada di ruangan itu sedang lengah, karena mengira bahwa Yudis masih tertidur akibat obat yang telah disuntikannya. Sebab secara medis, seharusnya obat tidur yang baru disuntikan ke Yudis dapat membuatnya tertidur selama empat jam. Walhasil, peristiwa itu telah membuat heboh banyak pihak. Beritanya mulai tersebar kemana-mana dan menjadi berita utama di kalangan masyarakat luas.
 
Aku dan Mikel yang menyaksikan langsung insiden itu, menjadi sangat trauma. Tidak hanya trauma yang menyelimuti diri kami, tapi juga rasa kehilangan yang teramat dalam. Bahkan kami tidak pernah bisa berhenti menangis setiap melihat foto Yudis.
 
Hingga pada hari ibadat pemakaman tiba; kami melihat ayah Yudis yang berusaha untuk tabah, tapi tidak dengan ibu Yudis yang terus menangis histeris di depan jasad Yudis yang terbaring di dalam peti. Mentalnya hancur bersama tubuh putranya. Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu ikut terharu dan merasa iba dengan ibu Yudis. Tidak terkecuali kami.
 
Sebelum proses penutupan peti berlangsung; pihak keluarga mulai menaruh benda-benda kesayangan milik Yudis ke dalam peti. Salah satu benda yang menarik perhatianku adalah sebuah patung kayu berbentuk manusia tanpa kepala, dengan ukiran yang ganjil. Menurut keterangan dari orang tua Yudis, benda itu dibawa pulang oleh Yudis dari live-in. Tidak jelas asal-usul benda tersebut, karena Yudis tidak pernah menceritakannya ke mereka maupun teman-temannya; termasuk aku dan Mikel.
 
Pada awalnya aku tidak memedulikannya, karena tidak ada yang spesial dengan benda itu. Namun, semua berubah sewaktu seorang pastor sedang meneteskan air suci ke tubuh Yudis dan - tidak sengaja - mengenai benda tersebut. Seketika benda itu mengeluarkan kobaran api berwarna hijau dan membakar jasad Yudis. Walhasil, semua orang yang ada di ruangan itu menjadi terkejut dan berusaha mencari tabung pemadam api.
 
Tiba-tiba aku melihat Yudis di dalam kobaran api itu. Dia sedang menjerit minta tolong, dengan tubuh yang terikat rantai. Namun, yang paling mengerikan dari pemandangan itu adalah aku mendapati sosok berjubah hitam, memiliki tinggi sekitar dua meter, membawa lentera hijau, dan tidak memiliki kepala.
 
Sosok itu berdiri di belakang Yudis, sambil memegang rantai yang mengingat tubuhnya. Kemudian sosok itu menarik paksa tubuh Yudis dan menghilang dalam kobaran api tersebut. Belum sempat aku memperjelas penglihatanku, para pengunjung sudah memadamkan api itu.
 
Aku berusaha menanyai penglihatanku ke Mikel, tapi dia tidak melihat apa-apa selain api berwarna hijau yang mendadak muncul dari dalam peti Yudis. Bahkan semua orang di ruangan itu hanya terfokus pada kemunculan api misterius itu. Walhasil, peristiwa ini membuatku menjadi syak wasangka yang diselimuti oleh perasaan ngeri.
 
****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline