Gubuk tua di tengah sawah
Sebagai seorang anak petani, gubuk tua adalah kenangan abadi. Kenangan itu sampai hari ini masih melekat dihati. Disitulah kami selalu berkumpul kala hari panas atau hujan mendera.
Walau bersempit-sempitan namun terasa lapang karena bersama dengan orang-orang yang dicintai. Bersama ayah dan ibu serta penduduk desa yang menanti bekerja. Makan dan minum bersama. Tak jarang juga kami membakar belut atau ikan yang dapat di sawah.
Saat padi telah panen kami juga rame-rame menangkap belalang. Belalang itu kami bungkus dengan plastik keresek. Saat musim panen kami juga makan bubur putih campur kacang hijau. Minum teh atau kopi, dibawah tenda biru.
Wah...asyik sekali. Tapi ini bagi anak petani seperti saya. Ya, hanya anak petanilah yang bisa merasakan hal ini. Yang bukan anak petani tentu tidak akan bisa merasakan sensasinya ya.
Ketika teringat masa indah ini, rasanya aku kembali kemasa anak-anak dulu. Sangat kental sekali terasa, betapa alam yang luas telah mendidikku untuk menuju kepada masa remaja bahkan dewasa.
Ketika ada yang terluka kena parang atau cangkul yang tajam. Maka obatnya adalah rumput hijau yang ada di pematang sawah. Rumput itu dikunyah kemudian ditempel pada tempat yang luka. Dengan segera kulit yang terluka akan berhenti mengeluarkan darah.
Inilah enaknya berteman dengan alam. Kita jadi tahu obat-obatan alami yang bermanfaat buat diri kita. Di sawah tidak ada Betadine. Makanya rumputlah yang jadi obat alaminya.
Beginilah kisahku yang tak akan pernah terlupa walau usia sudah tak muda lagi. Namun ketika mengenang masa ini seakan usia itu kembali pada saat badan masih memakai baju merah putih, putih biru, atau putih abu-abu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H