Ubi kayu, ubi runcing. Manis di mulut, lezat yang tercium. Dibalik kulit yang kasar dan keras. Tersembunyi kelezatan yang sejati.
Tumbuh dengan megah di ladang yang subur. Menampilkan daun hijau yang menjulang tinggi. Menyimpan kisah hidup yang tak terbilang. Ditumbuhi hamparan ubin-ubin kehidupan.
Ketika musim panen tiba. Petani mencabutmu dengan gembira. Memetikmu dengan hati penuh syukur. Membawa pulang ke dalam keranjang rotan.
Di dapur, kau bertemu api yang membara. Disisihkan kulitmu yang kasar. Dikupas untuk mengungkap indera yang lezat. Di balikmu tersimpan nutrisi yang menyembunyikan diri.
Di atas piring, kau menjadi bahan makanan yang tak ternilai. Kau menjadi tumpuan harapan mereka. Yang mencari kelezatan dalam hidup yang sederhana. Kau menjadi lambang kekuatan dan kesederhanaan.
Ubi kayu, dengan segala keterbatasanmu. Kau tetap menjadi keajaiban alam yang menyenangkan. Memberikan kehangatan bagi jiwa yang lapar. Menyentuh hati dengan cita rasa yang tak terlupakan.
Bukan hanya makanan yang enak Kau punya makna yang lebih dalam. Mengajarkan kita untuk bersyukur. Dan menghargai setiap anugerah yang diberikan
Ubi kayu, engkau tetap berarti. Sebagai simbol kehidupan yang tak lekang oleh waktu. Terima kasih, ubi kayu Kau telah membawa kita pada kelezatan yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H