Oleh : Inang Zainal Elmadury
Beberapa waktu yang lalu sebelum terjadi konflik antara muslim sunni-syiah ( 26/08/2012) di desa Nanggernang, Omben, Sampang Madura, secara kebetulan ada salah seorang sahabat yang menghubungi saya untuk sekedar konsultasi (sharing) dan menanyakan banyak hal mengenai syiah , latarbelakang serta ajaran-nya. Nampak sekali dalam percakapan kami, dia sedang gundah, risau dan hawatir karena dalam beberapa waktu terahir , ayah dan kakak lelaki-nya semakin sering mengikuti kajian dan berinteraksi dengan para penganut syiah. Puncak-nya , tepat satu bulan yang lalu kedua orang yang dia cintai tersebut, telah resmi dan terang benderang menyebut dirinya sebagai seorang syiah.
Beberapa jam pasca konflik meletus, saya menghubungi kembali sahabat tersebut , sekedar konfirmasi dan menanyakan kondisi terkini di Sampang setelah kejadian yang menewaskan satu orang korban jiwa dan beberapa lainnya luka-luka. Bersyukur, keluarga yang dia risaukan selama ini tidak termasuk menjadi bagian dari korban penyerangan .
Dengan kejadian ini, semakin menambah kegundahan dalam diri sahabat tadi, ketakutan yang begitu membuncah jika kondisi yang sama menimpa keluarganya, karena kehadiran ajaran syiah dalam beberapa tahun terahir, selalu mendapat penentangan dari warga sunni yang sebagian besar dari kalangan nahdiyin .
Asal Mula Kehadiran Syiah di Pulau Garam, Madura.
Jika di Banda Aceh kita lebih mengenal dengan sebutan "Serambi Mekah", dengan kondisi sosial budaya nya yang begitu khas dan kental dengan nilai-nilai keislaman, maka hal yang sama juga terjadi di Pulau Madura, saya menyebut nya sebagai " Serambi Madinah". Sekalipun, dari sisi politik sangat jauh berbeda dengan kondisi di Aceh yang menerapkan(sebagian dari-) regulasi syariah didalam mengelola daerah-nya, sekalipun demikian di Madura masih tergolong sangat konsisten dalam menjaga dan menerapkan nilai-nilai keislaman ditengah-tengah masyarakat. Bahkan, hampir semua masyarakat madura menjadikan pendidikan agama sebagai pendidikan paling pokok dan paling utama dalam menjalankan kehidupannya. Hal ini terlihat, hampir semua warga madura pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Namun ada salah satu pondok pesantren yang belakangan menjadi pusat sorotan masyarakat luas, sebuah pondok kecil yang dibina oleh KH. Ali Murthada, atau yang lebih dikenal dengan sebutan KH. Tajul Muluk. Pondok ini dibangun sekitar tahun 2004-2005 di desa karang gayam, kecamatan Omben, kabupaten Sampang Madura. Namun, saya pribadi lebih sepakat jika tidak menyebutnya dengan sebutan pondok pesantren . Karena ia hanya sebuah surau (musolla) kecil yang berukuran sekitar 3x4 m2,tepat berada di depan kediaman KH. Tajul Muluk. Surau semacam ini merupakan pemandangan yang khas dan lumrah terdapat di tiap-tiap rumah warga di hampir seluruh daratan pulau Madura. Selain itu tidak terdapat Mesjid, tidak terdapat pula ruang-ruang kelas untuk pembelajaran yang umum nya ada di lingkungan sebuah pesantren.
Kendati demikian, di surau kecil inilah yang menjadi cikal bakal meluasnya ajaran syiah di Madura, hingga meluas dari ujung Bangkalan hingga ke dataran Sumenep. Sebelum terjadi penyerangan kemaren, Surau ini pula yang beberapa waktu sebelumnya (29 dember 2011) menjadi pusat amarah warga, hingga menjadi korban pembakaran beserta beberapa rumah warga syiah lainnya.
Kemunculan ajaran syiah di sampang sendiri, sebenarnya dimulai dari sejak ahir tahun 1980-an , saat itu ayah Tajul Muluk , KH Makmun yang pernah belajar kepada Ustadz Husein Al-Habsyi, Pimpinan Pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) ,Bangil Pasuruan. Sejak saat itu, KH. Makmun membawa ajaran syiah ke Sampang, namun mulai sejak awal penyebarannya hingga sebelum tahun 2005-an , praktis tidak pernah ada konflik dengan warga sunni setempat. Hal ini dikarenakan belum ada dakwah secara terbuka dan terang-terang-an dari pihak penganut syiah.
Pesantren YAPI merupakan tempat menimba ilmu bagi keluarga KH Makmun, dari 8 putra-putri beliau, salah satu-nya KH. Tajul Muluk dan KH. Roisul Hukama di ketahui juga pernah menimba ilmu di pesantren syiah ini. Namun, tidak semua putra KH. Makmun menganut paham syiah, tercatat tinggal KH. Tajul Muluk, KH. Iklil Al-milal dan saudara perempuannya, Hanni, yang masih menjadi penganut dan tokoh syiah di Sampang, sementara KH. Roisul Hukama sendiri, sudah kembali ke sunni, meskipun dia pernah belajar di YAPI bersama Tajul.
Sejak dakwah syiah dilanjutkan oleh KH. Tajul Muluk inilah, aktifitas dan dakwah syiah mulai berani terbuka dalam mengembangkan ajarannya. Perlahan tapi pasti, gesekan demi gesekan mulai tumbuh dan mengakar antara muslim sunni dan syiah. Karena dalam dakwah syiah, memancing profokasi yang bersifat fundamental dalam kehidupan beragama Muslim sunni.
Sekilas Tentang Syiah.
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna : pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna : Setiap kaum yang berkumpul/bersatu diatas suatu perkara (Tahzhibul Lughah 3/6).
Adapun menurut terminology syariat bermakna : Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu-nya sepeninggal beliau ( Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal 2/113, karya Ibnu Hazm)