Kalau boleh, saya ingin berkata kepada mereka yang katanya membenci senja, secangkir kopi dan hujan pada sebuah karya sastra, betapa lucu kalian. Sebab senja, secangkir kopi dan hujan bukan simbol kelemahan manusia, bukan pula simbol kelemahan sebuah karya sastra.
Semua tergantung pada kedalaman, juga pengolahan rasa. Kalian yang tak pandai mengunyah dan merasai sense itu. Mungkin mereka sedang bosan saja. Entahlah.
Senja, secangkir kopi dan hujan tak melulu tentang cinta dan remeh-temeh seputarnya. Kadang dan bahkan sering tentang Tuhan, perjuangan, patriotisme bahkan humanisme terdalam seorang manusia.
Adalah Sapardi Djoko Damono sastrawan yang mempunyai rasa yang "dalam" itu. Seorang yang bisa mengubah senja, secangkir kopi dan hujan yang kata banyak orang meallow dan sendu itu jadi kesenduan dan rasa menggelegar.
Maka kemarin, ketika hujan sedang mengucur deras di bulan Juli ini, saya mengenang Sapardi di perjalanan menuju sebuah pertemuan kearaban kami.
Pertemuan tentang meramu, mengolah daging ikan lokal di Palembang... menjadi penganan yang kau kenal sebagai pempek.
Ya Agenda Kompal yang sekaligus menjadi agenda Kompasiana dengan judul "Membuat Pempek Palembang dengan Ikan Gabus".
Maka pempek di bulan Juli ini makin syahdu sambil mengenang Sapardi. Bagi kami, dengan momen apapun, selalu ada ruang untuk pempek.
Selamat jalan maestro sastra hujan, hujan dan secangkir kopi. Yang abadi adalah Dia. Yang fana adalah kita dan sang waktu.
Termasuk kopi, pempek yang kemarin kami buat dan kami nikmati bersama.
Pempek fana Kompal yang lezat. Tambah lezat karena obrolan dan aneka makan minuman lain. Secangkir kopi hitam dalam wadah batok kelapa buatan bu Dues juga sedapnya bukan main.