Seseorang memandangi layar notebooknya dengan mimik aneh. Secangkir kopi yang dipesan dari kantin sebelah tak tuntas ditenggak, masih menyisakan isi separoh. Di benaknya muncul aneka perasaan. Perasaan tak jelas antara menahan tawa dan menahan jengah, bercampur sedih juga. Dengar-dengarkanlah rasanya,
Betapa lucunya timeline saya pasca penetapan putusan Sidang Mahkamah Konstitusi lalu. Opini dan pendapat seputar putusan itu mulai memenuhi jagad timeline sosial media saya. Mulai Twitter, facebook dan instagram. Banyak yang bernada positif dan mengucapkan alhamdulillah. Sebaliknya, yang misuh-misuh, mengomentari negatif ya tidak sedikit juga.
Saya sendiri...? tidak penting kelompok mana yang saya pilih. Hal paling utama adalah saya mencoba bersikap fair dan sportif. Saya mendukung siapapun yang ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019. Kalau tidak, apa gunanya Pilpres. Masa iya saya akan terus-terusan sakit hati selama 5 tahun ke depan, bew.
Ya sportif dan fair itu prinsip dasar sebuah kompetisi dan kontestasi. Termasuk Pilpres Tahun 2019 yang seru ini. Malulah awak kalau jadi misuh-misuh di sosial media. Lebih malu lagi kalau misuh-misuh dan rasa sakit hati saya itu saya sebut sebagai suara hati rakyat. Padahal itu pendapat pribadi dan kelompok saya.
Pertama, saya akan menjadi tidak sportif jika menyebut "publik" menolak hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan pasangan 01 (Jokowi- Kiai Ma'ruf Amin), padahal publik yang saya sebut itu ya saya dan kelompok saya. Kedua, saya juga tidak sprotif jika menyebut "rakyat" menolak hasil keputusan Sidang MK padahal yang saya suarakan sesungguhnya adalah suara saya dan kelompok saya. Kan, betapa mbodohi dan keminternya saya.
Di sisi lain ya kita tau sejak masa kampanye publik itu terbagi beberapa kelompok yaitu (1) Kelompok yang pro 01, (2) Kelompok yang pro 02, (3) Kelompok yang masih bingung antara 01 dan 02; (4) Kelompok yang tidak tertarik pada Pilpres alias golput. Semakin mendekati Pilpres dalam penglihatan pribadi saya, kelompok ketiga dan ke-4 banyak yang berubah menjadi pemilih 01 atau 02. Intinya adalah, publik lingkungan kita tidak bisa kita artikan sebagai publik seluruh rakyat Indonesia. Rakyat adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan rakyat yang pro pada pilihan kita saja.
Tidak semua keinginan kita harus menjadi kenyataan. Apapun kenyataan, maka itulah takdir terbaik yang diberikan oleh yang Maha Kuasa. Saya kira semua yang waras harus menyadari itu. Untuk itu adalah bijak untuk menyudahi semua misuh-misuh dan emosi jiwa di timeline. Tidak ada lagi 01 dan 02, kita semua adalah pemenang. Mulailah dengan melupakan keinginan pribadi. Stop menipu diri membuat pernyataan dan narasi yang mengatasnamakan rakyat padahal penolakan itu itu pendapat pribadi dan kelompok.
Pasca keputusan sidang MK harusnya adalah masa adem. Tidak ada lagi 01 atau 02, Kita Indonesia. Seharusnya begitu. Ketika saya melongok ke twitter tadi dan melihat tweet dari akun twitter Partai Gerindra bahwa kemungkinan Prabowo dan Sandi akan menghadiri pelantikan Presiden Jokowi dan Kiay ma'ruf Amin, haiyah betapa banyaknya fans Pak Prabowo dan Sandi yang tidak setuju dengan wacana itu.
Seolah kalau menghadiri maka menerima kecurangan. Padahal kecurangan itu sesuatu yang kata masyarakat Indonesia yang lain "Tidak ada" dan tak bisa mereka buktikan. Haiyah, eling dong.
Tidak sengaja saya melihat twit Akun Partai Gerindra yang memberitakan Kemungkinan Prabowo-Sandi menghadiri pelantikan Presiden Jokwi-Kiay Ma'ruf Amin atas berita di CNN
Kemungkinan Prabowo Sandi Akan Menghadiri PelantikanPelantikan Jokowi-Ma'ruf