Lihat ke Halaman Asli

Elly Suryani

TERVERIFIKASI

Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Cerpen | Mona Pulanglah!

Diperbarui: 1 Juni 2019   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: fimela.com

Di tepi danau rawa itu matahari hampir tenggelam. Debur ombai danau suaranya kadang meninggi riuh, kadang lemah lembut bak nyanyian. Serombongan burung  yang tadi melintasi langit pulang ke sarang, telah menuntaskan kepaknya. Dia masih saja belum beranjak dari tepian rawa itu.

Matanya menunduk. Kedua tangannya melipat ke dalam saku baju. Telah hampir dua jam dia berada disitu, belum juga ia ingin berlalu. Pohon bakau dan pedada riuh rendah menggerakkan rantingnya ke kiri dan ke kanan bak sedang mengucapkan sapaan.  

Sudah 2 hari dia berada di dusun ini, sengaja. Ya sengaja menghilangkan dirinya. Sebab hampir setiap Idul Fitri hanya menyisakan sesak buatnya. Sesak yang meninggalkan penyesalan yang dalam. Maka jelang Idul Fitri tahun ini diam-diam dia menghilang. 

"Pulanglah Mona..." bibinya mengirimkan pesan 

Pesan yang tak sempat ia jawab. Dia dia mengkemas ranselnya. Sebuah perjalanan mudik menuju daerahnya tapi bukan ke rumah bibinya di Palembang.  Perjalanan ke pelosok yang ia lanjutkan dengan Sebuah bus pedesaan warna kuning campur karat. Setelahnya dilanjutkan lagi dengan speedboat yang mengguncang-guncangkan tubuhnya hingga membawanya menuju desa sunyi ini. Sunyi dan tak ada pesan dan panggilan telpon lagi.  

Mona, Perempuan yang tersenyum dengan matanya

Beberapa saat memandangi senja dari tepi danau ini telah membuatnya seperti melihat lagi semua kejadian yang menyesakkan dadanya. 

"Pulanglah Mona..." pinta ibunya dulu, dulu. Persis 2  (dua) hari menjelang Idul Fitri. 

Di rumah tuanya, orang-orang menunggu kedatangan Mona sebab seminggu setelah Idul Fitri dia akan menikah. Menikah dengan seorang  laki-laki pilihan ibunya yang ia tak ingat lagi rupanya.

Permintaan yang tak Mona penuhi sebab ia bimbang. Bimbang tak jelas yang tiba-tiba muncul. Bimbang yang membuatnya lari Hingga akhirnya hari ke-3 Idul Fitri Ibunya meninggal dunia. Sesal yang membuatnya sesak setiap kali Idul Fitri tiba.

Tanpa disadarinya, matanya telah menganak sungai. Pelan-pelan ia berjalan menyisir tepi danau rawa menuju sebuah rumah panggung tua tempat ia pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline