Lihat ke Halaman Asli

Elly Suryani

TERVERIFIKASI

Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Surat Terbuka Kepada Kaumku, Perempuan atau Emak-emak yang Bergelantungan di MRT

Diperbarui: 25 Maret 2019   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Kumparan

He, entah harus mulai dari mana. Mulai dari diri sendiri saja dulu, saya perempuan. Anak saya memanggil saya mama. Di Kantor saya dipanggil Ibu. Teman-teman, panggil saya nama. Di Kompal saya dipanggil Umek, bahasa plesetan kami di Kompal yang awalnya  disematkan Dokter Posma. Artinya kira-kira "Emak". Sah saya perempuan.

Perempuan itu, Ibu Kehidupan. Tak ada mahluk yang lahir kedunia ini tanpa perempuan, kecuali Nabi Adam, dan robot tentunya. Di Negara kita, kita mengenal istilah Ibu Pertiwi yang menurut KBBI artinya adalah tanah tumpah darah atau tanah Air. Ketika manusia lahir, darah ibunya tertumpah di tempat itu.  Hal yang menunjukkan betapa besar peran perempuan. 

Tak harus lemah lembut atau mendayu-dayu untuk disebut keibuan sebab sifat itu menyangkut bawaan lahir, kata saya. Tetapi...paling tidak seorang perempuan baik yang sudah ibu maupun calon ibu atau bukan keduanya tetap memiliki sifat itu. Sikap dan sifat untuk melindungi keluarga, melindungi lingkungan dan lain sebagainya. Bahkan perempuan juga panutan bagi anak-anaknya

Sudahkah saya sebagai Ibu, emak memiliki sikap itu...? rasanya iya. Faktanya, ya, hanya  orang-orang di sekitar saya dan Tuhan yang tau. Paling tidak saya berusaha menjaga hal tersebut. Perempuan dengan kesadaran penuh, perempuan, Ibu, emak, haruslah memiliki sikap melindungi tersebut. Ada peran besar perempuan dalam menjaga keluarga dan lingkungan. Perempuan bisa melakukan beberapa hal dalam menjaga keluarga dan lingkungan agar tetap damai dan penuh toleransi seperti di film Where Do We Go Now

Sampai disitu saya terhenti sejenak. Beberapa hari lalu, saya melihat berita viral tentang emak-emak yang bergelantungan di MRT. Haiyah, gambar yang cukup menghenyakkan saya. Sejujurnya kalau sedang bahagia, saya suka juga teriak. Suka juga loncat kegirangan. Itu hal yang manusiawi. Tetapi tidak dan jangan merusak atau menganggu ketertiban dan fasilitas umum. Tidak boleh itu bu, mak. 

Kepada kaumku, emak-emak yang bergelantungan di MRT, kalau benar mereka emak-emak (jangan-jangan cewek -cewek alay), pokoknya perempuan, stop sampai di situ. Jangan diulangi lagi. Kita perempuanlah yang harus lebih dulu menunjukkan sikap menjaga fasilitas publik. 

Meski sebagian emak-emak, katanya, suka membaca pembangunan infrastruktur dengan kacamata miring karena disundut pilihan politik, tetap saja fasilitas publik adalah hal yang harus disyukuri dan dijaga. 

Saya miris juga melihat petugas yang tertangkap kamera dalam MRT tersebut kok dia membiarkan perilaku alay emak-emak yang bergelantungan itu. Miris lagi kalau ada yang melihat tidak menegur, malah menjepret dan mengupload fotonya kemana-mana. Semoga si penjepret sudah mengingatkan emak-emak itu tapi tidak digubris, semoga demikian.

Menjadi pintar itu pilihan, menjadi bijak itu harus sesuai dengan kemampuan. Kepada emak-emak, ayo menjadi pintar dan bijak. Tidak susah kok. Pintar dan bijak itu prinsipnya  bersikap fair dan jujur, tidak  menganggu orang lain, taat aturan, dan menjaga diri serta lingkungan. Termasuk menjaga fasilitas publik. Tulisan ini ditujukan kepada perempuan. Kepada laki-laki..!?, iyalah, laki-laki  seharusnya juga pintar dan bijak.

Salam Kompal. Salam Kompasiana. 

Sumber Foto: Dok.Kompal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline