Lihat ke Halaman Asli

Ellyana Dwi Farisandy

Clinical Psychologist

Toxic Relationship, Apakah Pilihannya Selalu Meninggalkan?

Diperbarui: 18 November 2020   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi toxic relationship. (sumber: muda.kompas.id)

Sebuah hubungan harapannya terjalin untuk saling membahagiakan dan membuat kita bertumbuh menjadi lebih baik lagi. Namun, jika hubungan malah membuat kita terus menerus terluka, kecewa, dan tidak berharga, bagaimana ya?

Hal ini disebut sebagai unhealthy relationship atau yang lebih dikenal sebagai toxic relationship. Secara harafiah, toxic relationship diartikan sebagai hubungan yang beracun. 

Hubungan yang membuat kita merasa drained, tidak nyaman, bahkan membuat kita terus menerus mempertanyakan keberhargaan diri kita. 

Walaupun toxic relationship juga bisa diaplikasikan pada hubungan dengan teman maupun orang tua, faktanya term ini paling sering digunakan dalam menjalin relasi romantis bersama pasangan. 

Dalam hubungan yang toxic, biasanya akan ada pelaku dan juga korban. Hubungan yang seharusnya setara, namun tidak berlaku disini karena adanya kesenjangan kekuatan dan kekuasaan di salah satu pihak.

Fenomena toxic relationship ini merupakan fenomena gunung es. Kita bisa dengan mudahnya mengunggah foto-foto romantis kita di media sosial dengan pasangan, tanpa orang lain menyadari bahwa sebenarnyadi balik itu semua, kita sangat terluka dan kelelahan karena perlakuan pasangan. 

World Health Organization (2017) mengungkapkan bahwa sekitar 1 dari 3 (35%) di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual saat menjalani hubungan romantis dengan pasangan. 

Lebih lanjut, Ekoh, Aga, dan Ejimkaraonye (2019) menjelaskan bahwa pelecehan maupun kekerasan dalam hubungan romantic memengaruhi setidaknya 9-38% pasangan muda. 

Di Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018) mengungkapkan bahwa sebanyak 33.4% perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya. Secara lebih spesifik, tingkat kekerasan baik secara fisik maupun seksual yang dialami perempuan belum menikah sebesar 42.7%.

Berkaitan dengan usia, dewasa awal dengan usia 17-24 tahun merupakan usia dimana pertama kali individu menjalani hubungan yang tidak sehat. Statement ini tentu saja ada alasannya, lho. 

Berdasarkan tahap perkembangan Erikson, tugas perkembangan pada dewasa awal adalah intimacy vs isolation dimana kita mulai menumbuhkan ketertarikan dengan orang lain (Malone, Liu, Vaillant, Rentz, & Waldinger, 2016; Montgomery, 2005). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline