Guru merupakan tonggak pada tiap lapis dan jenjang pendidikan. Perannya yang luar biasa menjadikan profesi guru dikenal dengan istilah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.Hal ini wajar saja, karena banyak orang-orang sukses, pejabat, pengusaha, bahkan presiden, yang lahir dari rahim para guru. Orang yang senantiasa kerja keras memerangi kebodohan para siswanya. Anak didiknya. Membuat mereka pintar, dan jadi orang.
Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar. Hakikat guru yang merupakan suatu profesi, berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Meski demikian, tak sedikit bidang non pendidikan yang menggunakan kata guru untuk mendaulat para pendidiknya, semisal guru private, guru les, dan lainnya.
Menurut Soedijarto, Guru yang memiliki kompetensi profesional perlu menguasai hal berikut. Antara lain, memiliki disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan pelajaran, memiliki bahan ajar, memiliki pengetahuan tentang karakteristik siswa, memiliki pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, memiliki pengetahuan serta penguasaan metode dan model mengajar, memiliki penguasaan terhadap prinsip-prinsip teknologi pembelajaran, memiliki pengetahuan terhadap penilaian, dan mampu merencanakan, memimpin, guna kelancaran proses pendidikan.
Namun, ada hal yang cukup mendasar terkait dengan profesionalitas tersebut. Ciri seseorang yang profesional ialah ia memiliki kompetensi. Selain memiliki kompetensi dalam hal penyampaian materi pembelajaran, maka seorang guru harus pula memiliki kompetensi dalam hal lain, misalnya menulis. Penting kiranya hal ini di perhatikan. Sebab, dalam kelengkapan proses pembelajaran maka seorang guru wajib membuat Lesson Plan sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Tak hanya itu, guru juga dituntut untuk dapat membuat diktat atau buku penunjang materi pembelajaran dengan memperhatikan pola belajar peserta didik. Hal ini tak lepas dari penelitian sang guru, dan terlebih adalah kemampuan menulis.
Sebagai contoh Tanoto Foundation yang didirikan oleh Sukanto Tanoto pada tahun 2001 sebagai wujud empaty pada sesama guna mengentaskan kemiskinan. Menurutnya, salah satu hal utama yang diperlukan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik adalah pendidikan. Namun demikian, pendidikan tidak dapat berjalan sendiri, melainkan harus didukung oleh pemberdayaan yang dapat memaksimalkan potensi individu. Seperti halnya pada tahun 2010 tanotofoundation (http://www.tanotofoundation.org/) mencetuskan program Peningkatan Sekolah, yang memfokuskan pada pemberdayaan pengajar, penguatan lembaga pendidikan, dan peningkatan lingkungan fisik dan intelektual di sekolah. Dari sisi inilah, seorang guru harus menuangkan gagasan riil nya dalam bentuk tulisan dan karya ilmiah.
Saya pribadi adalah guru Sekolah Menengah Pertama. Saya mengajar di SMP IT Bina Insani Metro, Lampung. Namun, selain menjadi tenaga pendidik di sekolah, saya pun tetap melatih diri saya untuk tetap menulis dengan cara menjadi penulis opini lepas di surat kabar lokal terbesar di Lampung. Bagi saya, menulis adalah mengawinkan ide dan gagasn dengan kondisi riil di lapangan. Bagi seorang guru, tentu akan menemukan kondisi-kondisi dimana harapan dan kenyataan di lapangan tidak sejalan. Meski mungkin ada fasilitas untuk menuangkan gagasan-gagasan kepada pihak-pihak terkait, namun rasanya kurang cukup ilmiah dan terkesan non formal bila hal tersebut tak dikemas dalam bentuk tulisan yang tentunya mampu dipertanggungjawabkan.
Karena menulis adalah kerja otak dan rasa. Bagaimana kondisi saat itu membuat guru berpikir dengan segala dasar teori yang dulu pernah dipelajarinya di bangku-bangku kuliah, dan rasa kepekaan yang timbul. Sehingga dari dua hal tersebut, lahirlah gagasan-gagasan dalam bentuk penjabaran ilmiah melalui tulisan.
Bila guru mengeluhkan tentang keterbatasannya, dalam hal ini skill menulis, maka kata kuncinya adalah terus mencoba. Meminjam pendapat Munandar bahwa, kompetensi merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Pendapat ini, menginformasikan dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya kompetensi, yakni dari faktor bawaan, seperti bakat, dan faktor latihan, seperti hasil belajar.
Begitupun dengan skill menulis guru, tentunya dapat diasah melalui cara latihan. Belajar. Karena sejatinya manusia adalah pembelajar abadi. Maka tidak ada fase yang menandakan ia tuntas dalam sebuah proses belajar, kecuali kematian. Maka pekerjaan sebagai guru tak hanya sebatas sebagai profesi, namun ia harus juga memunculkan aksi nyata dari kondisi dan interaksi pembelajarannya setiap hari. Salah satu cara pengentasan masalah adalah dengan menulis dan mencipta karya. Sehingga selain kompeten dan profesional, guru juga memiliki andil dalam menuntaskan permasalahan di bidang pendidikan. Karena pasti, setiap hari, seorang guru akan menemukan masalah di sekolah. Entah itu masalah seputar kondisi belajar mengajar di kelas, masalah metode pembelajaran, sarana dan prasarana, bahkan kondisi psikologis peserta didik.
Tak akan habis ide-ide menulis, karena masalah pun tak kan pernah hilang dari keseharian. Oleh karenanya ketika seseorang didaulat sebagai guru, maka perannya tak hanya sebatas bilik-bilik ruang kelas dan sekolah, namun jauh lebih luas lagi. Ia berhak menyampaikan buah pikir dan rasanya pada goresan tinta yang kelak akan membuatnya benar-benar menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
*Penulis adalah pendidik di SMP IT Bina Insani Metro, Lampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H