JENDELA DUNIA
Oleh: Ellnovianty Nine
(foto: salah satu karya tulis penulis)
Seseorang menyapa saya di sebuah pameran Ilustrasi Buku CerNak yang berlangsung tgl 30 Mei 2011 di Campus Center(Barat), ITB Bandung.
"Sejak tadi saya perhatikan Ibu asyik sekali membacakan buku kepada putri Ibu ini?" Begitu sapanya. Saya melirik ke arah si penyapa. Ternyata dia seorang wanita berjilbab. Entah mengapa saya merasa familiar dengan wajahnya. Lalu dengan antusias saya menjawab,"Ya begitulah. Saya memang senang membacakan buku kepada anak-anak saya." Wanita itu kembali menimpali, "Pasti karena Ibu hobi membaca sejak kecil dulu." Saya tersenyum lebar. "Wah, justru karena masa kecil saya jauh dari yang namanya buku." "Oh begitu ya?" Wanita itu tampak tertarik dengan ucapan saya. "Iya, karena saya tidak pernah diperkenalkan budaya membaca oleh orang tua saya. Kecuali membaca buku-buku pelajaran." "Oo begitu." Wanita itu menatap saya penuh semangat. "Iya, karena itulah, saya terobsesi untuk memperkenalkan beragam buku kepada anak-anak saya sejak dini. Untuk membeli buku, saya sangat royal. Khususnya saya." Rangkaian kalimat tidak berhenti meluncur dari bibir saya. Tiba-tiba saja si wanita itu mengeluarkan selembar kertas. "Kalau begitu Ibu perlu membaca ini." Sekejap saya pikir dia ilustrator juga. Ternyata dia sales buku-buku sebuah penerbit terkenal. Ha-ha-ha.
****
Membaca buku. Sebuah dunia yang benar-benar ‘jauh panggang dari api’ , tidak tepat bagi saya. Ketika masih masa kanak-kanak hingga remaja, tak ada rak-rak berisi buku cerita anak-anak, kecuali bobo, di rumah saya. Lalu ketika remaja, hanya satu jenis majalah remaja yang selalu saya baca, yakni Majalah Anita. Itu pun hanya satu edisi yang saya beli, karena cerpen yang saya tulis dimuat di sana. Saya masih ingat di rumah kami, seperti keumuman wanita lainnya, Mama rajin berlangganan Majalah Kartini dan Femina. Kakak perempuan saya tidak hobi membaca, tetapi hobi mengoleksi kaset, menyanyi dan menghafal lirik lagu. Adik perempuan saya tidak terlihat pernah membaca buku, adik bungsu saya yang laki-laki pun tidak juga tertarik membaca. Mungkin karena kami memang tidak dikenalkan budaya membaca. Padahal Papa, orang yang selalu membaca koran dan sangat memperhatikan pendidikan kami.
Dulu, sewaktu masa di bangku SD, saya menyimpan rasa iri kepada beberapa orang teman yang selalu memamerkan koleksi buku cernak terbaru mereka. Rasanya bisa beli buku itu sebuah prestise. Buku sama dengan kemampuan finansial seseorang. Punya buku berarti kaya. Tidak punya buku seolah miskin. Itu pikiran kanak-kanak saya. Akibatnya, saya minder sekali karena tidak pernah mampu memamerkan buku koleksi saya kepada teman-teman di sekolah.
- Saya, terseok-seok
Tahun 1997, ada jalan menuju Jepang. Saya berangkat ke negeri sakura untuk belajar Bahasa Jepang sambil bekerja paruh waktu. Selama dua tahun penuh, hidup mati saya di negeri itu bertumpu pada gaji yang saya peroleh melalui kerja part time tersebut.
Tahun pertama saya tinggal di negeri itu, ada satu hal yang membuat saya takjub. Yakni, toko buku yang selalu dijejali pengunjung! Di setiap sudut klasifikasi buku, pasti dipenuhi orang-orang yang tachi yomi alias baca gratis sambil berdiri. Pemandangan lain yang tak kalah menarik bagi saya, adalah pengunjung di toko buku selalu fashionable. Pria-pria berjas, wanita dengan seragam kerja, para gadis dengan dandanan mutakhir, sampai anak-anak yang selalu ribut mendiskusikan bacaan di tangan mereka masing-masing. Mungkin jumlah pengunjung di toko buku tersebut sebanding dengan jumlah pengunjung di departemen-departemen store di kota tempat saya tinggal itu. Fenomena ini tidak terjadi di sebuah toko buku, tapi di setiap toko buku dan toko 24 jam (seperti circle K) yang menjual buku.
Lalu, tahun 1999 saya mencoba peruntungan dengan mengikuti ujian saringan masuk sebuah universitas swasta di Kota Kyoto. Alhamdulillah saya lulus pada program ekstension. Artinya, saya akan langsung jadi mahasiswa tingkat tiga, jurusan Managemen Lingkungan, ilmu baru yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.
Di sinilah saya mulai terseok-seok. Menjadi mahasiswa tingkat tiga berarti dekat sekali dengan urusan menulis skripsi. Padahal ilmu saya masih dangkal. Ada satu hal yang membuat saya seperti orang kebakaran jenggot. Bagaimana caranya agar saya tidak seperti orang dungu di antara teman-teman seangkatan yang sangat luwes berbicara mengenai lingkungan dan segala permasalahannya. Misalnya, masalah pengelolaan sampah, penghematan tenaga listrik, manajemen ramah lingkungan, dan masih banyak lagi. Kebanggaan menjadi salah seorang mahasiswa asing yang berhasil tembus program ekstension ini, berubah menjadi neraka buat saya. Tiada hari tanpa stres akibat minimnya ilmu yang saya miliki.
Sebenarnya saya tidak punya kendala apa pun dalam penguasaan Bahasa Jepang. Baik lisan maupun tulisan. Tetapi, yang menjadi masalah adalah saya tidak tahu bagaimana caranya suka membaca! Padahal, di kampus itu tersedia perpustakaan dengan segudang jenis buku, literatur online, video dokumentari, dll. Tapi, kok saya tidak tertarik untuk menyelaminya.
Suatu kali saya mengajukan selembar ide tema skripsi saya kepada pembimbing. Tanpa menunggu beberapa lama, Profesor pembimbing saya dengan ‘baik hati’ mencoret-coret keseluruhan kalimat yang saya buat. “Dangkal, tidak memiliki teori yang tepat, apa sih yang mau kamu tulis sebenarnya?” Itu komentar terpedas yang ditusukkan ke dada saya.
Sejak itu saya terbirit-birit menertibkan diri untuk mulai ‘suka membaca’. Keluar masuk perpustakaan, menjadi agenda tetap saya. Sehari bisa empat buah buku saya pinjam. Tapi karena tidak biasa membaca, buku-buku yang dipinjam hanya jadi teman tidur saja. Pernah suatu kali saya menangis di hadapan seorang dosen karena dia memaksa saya untuk belajar membuat sebuah proposal proyek. Padahal saya benar-benar sudah angkat tangan, tidak bisa! Rasanya isi kepala ini kosong. Tidak ada untaian kalimat, ide-ide cemerlang, bahkan berimajinasi pun saya tak sanggup. Hampir duapuluh empat tahun usia saya saat itu, tapi seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Tidak tahu apa-apa.
- Saya, berevolusi
Kehidupan perkuliahan di Jepang telah merubah kehidupan saya. Drastis! 360 derajat. Jatuh bangun membaca buku. Lembar demi lembar berusaha saya pahami. Beban membaca itu terasa luar biasa berat. Mungkin karena buku yang saya baca semuanya dalam huruf-huruf Kanji. Tiap malam saya bergadang. Saya sampai muntah-muntah karena stres menjalani semua ritual baru itu.
Pernah juga saya berniat mundur. Saya tidak perduli dengan masa depan saya. Lebih baik putus kuliah daripada harus membaca berpuluh-puluh buku referensi. Mana mungkin memadatkan masa ketertinggalan saya sekian puluh tahun dalam dunia membaca hanya dalam waktu satu setengah tahun?
Bertemulah saya dengan seorang mahasiswa Jepang yang cacat tuna netra. Kami selalu duduk di barisan terdepan di kelas Sejarah Jepang. Di sampingnya selalu hadir seorang asisten untuk mengetik huruf Braille. Sedangkan dia terus menyimak uraian dari dosen.
Dialah inspirasi saya untuk mengatasi dilema ini. Entah bagaimana caranya, akhirnya sedikit demi sedikit saya mulai suka membaca. Oh ya, saya ingat. Di toko buku di Jepang, ada jenis buku yang disebut 文庫本-bunkobon. Artinya, buku saku, yang sering dikantongi orang-orang Jepang dalam perjalanan mereka dengan kereta api, bus kota atau bahkan dalam taksi sekalipun. Harganya sangat ekonomis, kurang dari seribu yen. Artinya, buku itu bisa dibeli dengan uang receh. Dengan membaca buku ringan tersebut orang Jepang biasanya menimbun waktu luang mereka. Dari jenis bunkobon inilah saya mulai membangun ulang kebiasaan membaca.
Ternyata sangat membantu. Meskipun berukuran saku, dan murah, tetapi isinya sangat beragam dan aktual. Ulasan-ulasan menarik tentang kehidupan sehari-hari. Baik dalam ruang lingkup internal Jepang maupun dunia.
Setiap kali membaca bunkobon tersebut, saya seperti melihat ada jendela terbuka di depan mata saya. Membaca adalah membuka jendela dunia. Itu kesimpulan saya.
- Saya, terobsesi
Akhirnya saya sukses menulis skripsi. Toga kelulusan berhasil saya raih, kebiasaan membaca juga akhirnya menempel secara alami pada tubuh ini. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Kemudian saya melanjutkan perkuliahan ke tingkat magister. Kekuatan membaca yang saya peroleh di bangku S-1, telah membuat jalan menuju tingkat pendidikan lebih tinggi menjadi mulus. Seperti jalan tol. Bebas hambatan. Bahkan, di tingkat magister ini, pihak universitas menyediakan dana khusus untuk membeli buku selama dua tahun masa perkuliahan. Besarnya sama dengan lima belas juta rupiah!
Seperti orang kalap, semua uang itu saya belanjakan dalam kurun waktu seminggu. Semua buku yang berkaitan dengan masalah lingkungan, tidak luput dari keranjang belanjaan saya. Tiba-tiba saya merasa menjadi orang kaya! Begitu bunggah hati ini melihat kini saya punya koleksi buku yang jumlahnya puluhan.
Bukan hanya kaya dengan jumlah buku yang saya beli, tapi si dungu ini sudah berubah menjadi mahasiswa Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Jika dulu, saya paling stres pergi ke kampus. Paling takut ketika tiba waktunya kuliah seminar (bukan kuliah umum), sekarang semuanya seperti berjalan di bawah lampu yang terang benderang.
Koleksi buku-buku yang saya beli selama di Jepang, kini tetap menjadi pendamping setia saya dalam menjalani hidup di tanah air tercinta.
- Saya, ketagihan
Ketika memiliki anak pertama, saya dan suami ternyata sama-sama terobsesi menyediakan fasilitas buku bacaan bagi keturunan kami. Kebetulan, saya ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai penerjemah (bahasa Jepang-Inggris-Indonesia). Lagi-lagi kehidupan saya tidak bisa jauh dari buku.
Bahwa membaca itu adalah penting dalam hidup ini, membuat kami tidak pernah ragu mengeluarkan uang demi masa depan putra-putri kami. Selama tinggal di Jepang (kebetulan suami saya juga kuliah di Jepang, dan dua dari tiga anak kami lahir di Kota Sapporo-Jepang), kegiatan rutin saya adalah memantau online shopping di Yahoo Japan. Biasanya, selalu ada lelang buku-buku baru dengan harga super murah. Rata-rata harga buku cernak baru adalah dua ribu yen (= dua ratus ribu rupiah), maka dalam online shopping itu siapa pun bisa berebutan belanja ‘sekarung buku baru yang up to date’ dengan harga luar biasa murah. Jika harga satu buku adalah dua ribu yen, maka dengan harga yang sama bisa membeli enam buku baru!
Hobi baru kami ini boleh dikatakan investasi masa depan. Tugas saya bertambah. Selain sebagai ibu rumah tangga, juga seperti orang yang main saham. Menunggu waktu yang tepat untuk membidik harga lelang yang tokcer. Biasanya ‘perang harga lelang’ akan berlangsung tengah malam. Sepertinya semua peminat melupakan jam tidur hanya untuk mengatur strategi mengeluarkan harga-harga baru. Siapa pun tidak mau rugi. Kami sering memenangkan perang lelang tadi. Tapi sesering itu pulalah kami kalah.
Dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun (sebelum pulang ke tanah air), jumlah koleksi buku untuk ketiga buah hati kami sudah mencapai angka tiga ratusan. Beragam bentuk, beragam tema, beragam penulis (baik lokal Japanese maupun penulis asing lainnya). Padahal uang yang kami belanjakan sangat hemat. Setiap kali tukang pos atau jasa antar barang datang ke rumah dengan membaca kardus-kardus besar, si sulung selalu akan berteriak kegirangan. Hon da! Hon da! (buku…buku…) Kami telah mempersiapkan buku bacaan bagi mereka hingga usia mereka dewasa. Mulai dari buku yang mengenalkan huruf hingga buku yang mengenalkan perbedaan laki-laki dan perempuan.
- Benang merah antara membaca dan menjadi seorang penerjemah sekaligus penulis buku
Kebiasaan membaca sudah tidak terpisahkan lagi dari diri saya. Kebiasaan ini akhirnya tertular juga kepada anak-anak. Kebiasaan yang ‘memang sengaja ditularkan’. Kebiasaan lain yang tak bisa dilepaskan adalah berbelanja buku. Setiap kali mendapat gaji dari hasil terjemahan, biasanya tanpa bisa terbendung lagi saya akan lagi ke toko buku terdekat. Pulang ke rumah mengantongi minimal lima buku. Kadang kali suami saya sampai harus mengingatkan aturan belanja buku ‘yang ramah ekonomi rumah tangga’. Ha-ha-ha.
Manfaat yang terasa selama ini bisa saya petik dari kegemaran membaca sudah saya jabarkan dengan luas. Membaca sama dengan membuka jendela dunia.
Lalu, sebagai penerjemah saya perlu melihat dunia melalui jendela yang namanya buku. Penerjemah itu harus luwes, berwawasan luas, tidak boleh kuper, harus selalu up to date.
Ternyata, membaca memberi saya ‘kebisaan’ baru. Yakni, menulis. Kemampuan menulis saya sepertinya terangkat begitu saja karena membaca tadi. Selalu saja ada rasa penasaran dalam diri ini setiap kali membaca hasil karya seorang penulis. Kenapa ya dia bisa menulis begitu lancar. Mudah dimengerti, bikin saya terpingkal-pingkal membacanya, bikin air mata ini menitik, bikin hati ini mangkel, bikin saya merasa kaya berlipat-lipat oleh asupan nutrisi bernama ilmu. Saya ingin seperti mereka.
Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir ini, sudah terbit tiga antologi buku yang saya tulis bersama-sama penulis yang tergabung dalam grup FLP cabang Jepang. Juga, beberapa artikel solo yang dimuat di beberapa majalah, dan satu kali telah berhasil memenangkan lomba menulis tahun ini.
Obsesi saya yang belum terwujud adalah menulis buku cernak untuk ketiga buah hati kami. Semua masih dalam observasi. Semoga segera terwujud.
Bandung, 31 Mei 2011
Fb: Novi Mudhakir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H