Menjadi seorang full time mother ternyata benar-benar menguji keimananku. Tidak hanya menghadapi urusan rumah tangga yang tak pernah ada habisnya, juga menghadapi energi anak-anak yang entah kapan habisnya. Nggak low bat - low bat!
Yang paling membuat kepala ini pusing adalah mainan yang berantakan di mana-mana. Sebenarnya apa pantas sih disebut berantakan? Kesannya, mainan anak-anak adalah momok yang menyebalkan buat seorang ibu (juga Ayah ya). Padahal bermain adalah hak seorang anak.
Ketika si anak mengeluarkan buku-buku yang disusun rapi oleh ibunya atau ayahnya, berarti dia berminat untuk melihat isi buku itu. Ya, kan?
Atau ketika si anak sibuk menarik-narik tutup kotak lego, lalu mengeluarkan isinya, membuat aneka bentuk yang menurutnya menarik, setelah itu diletakkan di mana pun di suka, itu pun pertanda anak kita cenderung aktif-kreatif kan ya?
Lalu, bagaimana sih agar rumah tidak terus menerus dalam kondisi berantakan? Bikin pusiiiing.
Melatih anak untuk meletakkan kembali mainannya sudah kulakukan. Tapi tidak selalu mulus, sesuai dengan keinginan seorang ibu. Lihat saja, nggak pagi, nggak siang, nggak malam, nggak perlu nunggu sejam, di sana sini pasti nemu mainan.
Padahal kotak penyimpan mainan sudah diletakkan di tempat yang mudah dijangkau. Agar mudah dikembalikan ke tempatnya. Tetapi, toh akhirnya tangan ibu juga yang harus membersihkannya.
Pernah suatu kali, aku minta kepada kedua anak balitaku agar mengembalikan buku-buku yang berserakan di atas kasur. Badanku yang penat, lelah, makin lieur (pusing) ketika melihat kasur yang empuk dipenuhi oleh serakan buku. Ampyuuun deh.
"Alma, Tiara, tolong bereskan buku-buku ini."
"Duh tanganku pegel, Bu," sahut si sulung, Alma.
"Tanganku pegel, Bu," tiru si tengah, Tiara.