Terrorisme pada dasarnya bertujuan untuk menyuburkan dan menyebarluaskan rasa takut dan media menjadi salah satu alatnya. --Brigitte L Nacos (penulis buku "Mass-Mediated Terrorism" dan "Terrorism as Breaking News") maka pentinglah kita menaruh perhatian mengapa disiplin dan manajemen emosi dalam media sosial menjadi urgent untuk dilakukan.
Information is power: Media as a Weapon, so make sure you use this weapon wisely.
- Tahan diri untuk menyebarkan informasi yang belum tentu benar
Dinyatakan dalam buku yang saya jadikan referensi untuk tulisan ini, Media dan terrosime merupakan partner-in-crime. Media merupakan agen yang mampu melakukan transmisi (broadcasting) kepada masyarakat secara real time. Merujuk pada kejadian 9/11 kita bisa tahu bahwa terorisme telah menjadi sebuah breaking news yang sangat menggemparkan.
Ketika sebuah insiden terjadi semua berlomba menjadi wartawan dan seakan ingin membuktikan bahwa dialah yang paling cepat mendapatkan sebuah informasi. Hal ini menjadi amat menjemukan sebab informasi yang terlalu cepat yang bahkan belum dirilis oleh media terpercaya patut diragukan kebenarannya. Saya rasa sudah banyak sekali informasi yang mengajari kita mengidentifikasi mana yang kredibel dan tidak. Pun bukankah kurang santun menjadikan isu segawat serangan bom yang memakan korban sebagai komoditi pembuktian diri?
- Jangan membagi foto dan video korban.
Soal foto dan video korban, ah rasanya sudah berulang kejadian macam ini dan masih berulang juga oknum yang menyebarkan video dan foto korban. Sebenarnya mengapa itu tidak baik? Pertama, jelaslah itu sangat menyakiti hati para sanak famili dari yang bersangkutan. Pertimbangan moral ini tidak bisa kita abaikan. Coba bayangkan melihat foto/video orang terkasih penuh lumuran darah dimana-mana, bagaimana respons kita? Saya sendiri sejujurnya akan sangat terluka.
Maka penting untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kedua, efek ngeri itu membekas. Ada banyak orang yang menjadi mual, pusing, bahkan trauma terhadap tempat atau sebuah kejadian serupa setelah melihat visual yang mengerikan. Nacos mengemukakan dalam bukunya bahwa di era teknologi informasi, media sangat berperan dalam memediasi terorisme hingga menjadi fenomena yang menghebohkan. Hal ini dikarenakan ada banjiran informasi (melalui gambar dan video apalagi) secara terus-menerus pada masyarakat. Maka jangan rela menjadikan diri kita sebagai alat dari mereka yang kita sebut teroris.
- Siaga tanpa jadi mudah Curiga
Wajar jika sebuah tragedi membuat kita was-was dan itu perlu agar kita tidak menjadi teledor menjaga diri, namun jangan lupa untuk tetap ramah dan menebarkan kebaikan, justru itu yang dibutuhkan saat ini. Kecurigaan kadang justru memperkeruh dan menebarkan bibit kebencian, maka penting kita mengelola segala tatapan, tindak, dan tutur untuk tetap siaga namun ramah.
- Tidak Nyinyir apalagi melakukan penyangkalan
Bersedih adalah sebuah respons wajar dan manusiawi, maka hargai mereka yang sedang merasakan itu dalam segala bentuk. Baik aksi solidaritas hingga berbagai tagar yang siapa tahu mengumpulkan keberanian dan harapan. Saya sendiri adalah orang yang sangsi sejujurnya terhadap efektifitas tagar yang bertebaran, walau demikian saya tahu persis itu membawa secercah semangat dan aura optimis bagi orang lain, maka saya memilih menahan segala analisa dan opini pribadi kemudian mengizinkan oang lain menjadi pulihj dan berani dengan keunikan mereka sendiri.
Jangan juga melakukan serentet penyangkalan nihil simpati, yang bukan saja melukai hati mereka yang menjadi korban tapi juga membuat kita tidak mawas untuk memperbaiki kondisi. Rasanya sudah banyak contoh membuktikan bahwa yang kekalahan yang masif bukan disponsori serangan yang besar dan karena akumulasi pembiaran dan penyangkalan.
- Bertindak dan bersimpati
Antrean di PMI Surabaya dan para simpatisan yang turut mengamankan berbagai titik adalah wujud nyata tindakan penuh simpati, itulah yang banyak dibutuhkan saat ini. Sudahkah kita melakukan peran kita?
- Jangan lupa kembali pada akar masalah