Walau pilihan ini sempat ditertawakan, pada akhirnya saya memutuskan akan mengulang tipe perjalanan serupa.
Sebuah kegiatan membuat saya menginjakkan kaki di Sulawesi pertama kalinya. Di penghujung Januari, saya menghabiskan dua minggu di Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelum benar-benar mendarat di Makassar pada hari Minggu Siang, saya sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Terkhusus tentang satu hal: Teman Main. Destinasi saya sudah jelas, jelajah Maros satu hari, berkeliling Kota Makassar satu hari, dan dua hari usai kegiatan di Palopo waktunya saya mengeksplorasi Tana Toraja.
Awalnya saya sempat berpikir untuk melakukan solo travelling, sebelum menyadari betapa terbatasnya waktu yang saya punya. Maka, dibantu oleh Sosial Media saya mencari kandidat yang akan beruntung menjadi teman main saya. Sebuah nama muncul pasca pencarian panjang dengan berbagai tagar yang dicoba. Mas Herman, begitu saya memanggilnya, akhirnya saya temukan dan mulai saya hubungi. Dia adalah orang asli Makassar, yang terlihat suka petualang dan menguasai daerah yang saya targetkan untuk sambangi: Karst Rammang-rammang dan gua Leang-leang.
Bercakap dengan mas Herman sedari awal sudah menyenangkan, dan setidaknya membuat saya yakin dia bukan seorang kriminal yang akan membahayakan nyawa saya. "Tolong temenin saya main, mas" kira-kira begitu pinta polos yang saya ajukan. Saya cukup sadar diri memahami bahwa memberi durasi seharian untuk mengantar dan sebagainya sepatutnya dihargai dengan kompensasi yang cukup. Kalau bahasa sesehari, ganti uang bensin dan rokok (padahal masnya juga bukan perokok).
Budget yang terbatas membuat saya harus amat hati-hati mengajukan angka. Tidak terlalu kecil agar tidak membuatnya kabur dan tidak terlalu mewah agar sayapun tetap dapat ke Toraja dan pulang ke Surabaya. Usai menghitung harga kapal untuk menjelajah Sungai Puthe, sewa motor, makan, dan ucapan terima kasih, sebuah angka saya ajukan. Dia santai sekali meresponsnya, namun akhirnya angka itu tetap sama dan tidak berubah.
Perjalanan dimulai
Untuk menghemat waktu, Mas Herman menyarankan untuk menjemput saya di bandara Makassar lalu langsung menuju Maros tanpa perlu singgah ke Penginapan. Sayapun setuju. Kami bertemu di Bandara, berkenalan, mulai berkendara dengan naik sepeda motor menuju Maros namun terlebih dulu singgah untuk makan Coto Makassar.
Hanya sekitar 40 menit, jika saya tidak salah mengingat, kami sudah sampai di Rammang-ramamng. Kondisi tidak ramai, dan itu menyenangkan! Sebuah tipikal jalan-jalan paling ideal bagi saya adalah ketika tempat itu sedang tidak dipenuhi manusia. Kamipun naik perahu dan tanpa perlu lama saya mulai segala dercak dan tatap kagum melihat Karst yang berjejer amat hijau nan megah. Usai mendarat dan turun dari Perahu, hamparan sawah menyambut dengan kondisi sejuk yang amat menyenangkan!
Disana terpampang rute berbahan kayu, yang digunakan sebagai jalan utama untuk mengeksplor desa Bontoa. Namun, mas Herman justru mengajak saya berjalan agak jauh, dan langkah selanjutnya membuat saya tak habis pikir. Dia mengarahkan saya berjejak di tanah sawah yang saat itu becek karena hujan yang mengguyur deras sehari sebelumnya. Sungguh mengherankan opsi ini, dan beberapa detik saya berpikir agaknya saya salah memilih teman main, tapi semakin lama kaki dan celana kotor, saya semakin menikmatinya.
Mungkin ini naluri anak desa, yang bahagia ke masa kanak-kanak tiap kali bertemu sawah. Usai merasa puas menikmati setiap jengkal tanpa terburu, perjalanan kami berlanjut ke gua Leang-leang dan tidak jauh berbeda, saya sangat puas. Dua destinasi ini sangat saya rekomendasikan. Di Leang-leang saya menikmati setiap penuturan guide tentang sejarah disana sembari lagi-lagi melempar tatapan sukacita ke setiap bebatuan yang berdiri megah.
Usai menjelajah Maros, saya diantar pulang ke penginapan yang berbentuk kapsul di dekat Pantai Losari. Saya mengucapkan terima kasih karena telah menjadi teman main seharian dan saya berilah sejumlah ucapan terima kasih yang telah kami sepakati besarannya. Malam itu saya isi sendirian menjelajah kuliner di Losari, dari Pisang Epe dan pastinya Sup Saudara yang bagi saya sinonim dengan semangkuk surga. Untuk menghemat energi, saya bergegas pulang dan mengistirahatkan badan yang lelah.