Lihat ke Halaman Asli

Claudya Elleossa

TERVERIFIKASI

Seorang Pencerita

Perjuangan Cinta Literasi di Surabaya: Butuh Usaha Ekstra!

Diperbarui: 13 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap akhir pekan, saya membenarkan diri untuk bangun lebih siang. Namun hari ini, tidak. Menjadi satu peserta di acara Festival Pustaka Bergerak, membuat saya bangun pagi dan berpamit ke keluarga bahkan kala langit masih gelap. Tanpa dibantu peta elektronik, otak saya bergegas memetakan rute tercepat menuju Balai Kota Surabaya. Sesampainya disana, saya cukup kaget mendapati lahan parkir yang masih sepi. Peserta dengan kaos putih-all size-yang-cederung-kebesaran itu belum banyak tersebar. Agaknya budaya tak-tepat-waktu masih jadi masalah serius di negeri ini.

Setelah merantau di Surabaya sejak 2009, tadi pagi adalah kali pertama saya singgah di Balai Kota. Taman yang rapi, lahan yang nyaman bagi berbagai kegiatan santai, dan air mancur yang selalu jadi pesona. Saya tak menyesal datang tepat waktu. Di tengah pandangan saya menjelajah, beberapa becak cantik berisikan tumpukan buku digerakkan menuju ke titik yang sama. Sebuah garis dengan gate besar bertuliskan nama penyelenggara acara ini: Gramedia. Karnaval yang diikuti lebih dari 2000 peserta tersebut adalah satu acara dari seluruh rangkaian kegiatan. Terdapat kompetisi menulis dan kampanye sosial media untuk menyempurnakan misi meningkatkan kecintaan literasi khususnya di kota Pahlawan ini. Konsep yang sangat menarik untuk menghidupkan api literasi kepada khalayak. Tak heran, berbagai komunitas dan sekolah hadir serta berlomba dengan segala penampilan terbaiknya.

Diijinkannya pelataran balai kota sebagai tempat terselanggaranya acara adalah sebuah pertanda yang menegaskan bahwa  Surabaya kian serius dalam bidang literasi.

Dugaan saya soal keseriusan Surabaya itu, bukan karena satu momen ini saja. Pun bukan semata disponsori kekaguman saya pada bu Risma. Ada beberapa alasan di balik keberanian saya membela kota kecintaan saya ini (padahal hanya perantau disini) Pertama, dapat dilihat dari kebijakan dinas pendidikan kota Surabaya yang menerapkan budaya membaca setiap hari bagi siswa. Sekolah memodifikasi dengan selera dan kebijakan masing-masing. Misalnya di sekolah tempat saya mengajar, ada 20 menit di pagi hari diiringi musik tenang untuk kami melakukan DEAR (kepanjangan: Drop Everything And Read) PROJECT. Kedua, ditilik dari maraknya event literasi di kota pahlawan ini. Baiklah, saya akan terlebih dahulu mengakui dengan lapang dada bahwa kota Surabaya belum segiat Yogyakarta soal ini. Namun, sederet acara telah dihelat seperti Literaturiayang mengemas berbagai workshop hingga bincang-bincang santai soal dunia menulis. Terakhir, dengan jumlah taman baca yang bahkan lebih dari 400 titik tersebar di Surabaya!

gramed-sby-58c5374c6ea83426048b4567.jpg

Tanpa sadar, rute pendek karnaval telah selesai. Balai kota kembali menyambut kami. Kini dengan permainan musik hingga jajanan dari para UKM. Roti maryam dan es manado menjadi pilihan saya sembari menunggu pengumuman pemenang kompetisi yang saya ikuti. Sembari menunggu, dengan terik matahari dan udara yang kian panas, saya terhenyak kala mendengarkan daftar doorprize yang disediakan untuk perhelatan kurang dari lima jam ini. Belum lagi uang tunai hadiah yang mencapai total belasan juta rupiah. Sebuah event yang jelas tak main-main. Sembari menunggu saya membunuh waktu dengan mengisi Teka Teki Sialng dari Kompas Minggu yang dibagikan gratis di awal acara. Ada sekitar 150 soal yang tak mudah samasekali bagi saya yang dangkal ilmu ini. Di tengah berpikir keras mencari jawaban, saya lantas menyadari sesuatu. Koran yang dimiliki masing-masing peserta ini alih-alih dibaca, justru dijadikan alas duduk. Sebagian yang lain bertransformasi sebagai kipas demi sejenak menyejukkan pekat keringat. Di sebuah kegiatan yang menyuarakan tagar #membacaitukeren, justru didapati tak banyak aktivitas serupa. Tak sinkronnya misi dengan tindakan ini jelas bukan salah penyelenggara, namun menjadi pecutan bahwa kota dan negara kita masih darurat cinta literasi. Kita masih butuh bekerja ekstra.

Ada sebuah rasa bangga telah mengikuti acara ini, juga optimisme adanya jiwa yang dapat makin mencintai literasi. Tapi yang terlantang adalah sebuah asa bahwa rupiah dan meriah tadi tak berlalu begitu saja. Semoga pesan “membaca itu keren” dapat sungguh terinternalisasi di masyarakat. Usaha ekstra itu membutuhkan konsistensi dan strategi, kiranya Gramedia, Pemerintah Kota Surabaya, dan berbagai komunitas terus bersatu padu memperjuangkannya. Seperti judul acara ini: Festival Pustaka Bergerak, intinya sederhana: kita harus mau bergerak! Saya dan Anda juga!

Akhir kata, 

Hidup Literasi Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline