Lihat ke Halaman Asli

Claudya Elleossa

TERVERIFIKASI

Seorang Pencerita

Catatan Pinggir Jalan: Memetik Pelajaran di Warung Sambelan

Diperbarui: 5 Februari 2017   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: http://cdn.bisnisukm.com/

Empat jumlahnya, tiga laki-laki dan satu perempuan di depan meja tempat saya menikmati penyetan lele. Sendirian seperti biasanya. Penampilan mereka masih cocok jadi anak SMA, tapi dari obrolan yang diselingi asap rokok itu dapat disimpulkan bahwa mereka adalah mahasiswa. Tahun pertama, dugaan saya. Salah satu dari mereka yang paling banyak menghabiskan putung rokok di durasi kurang dari 15 menit barusan, menjadi tokoh sentral cerita ini. 

Karena saya sedang tidak ngobrol dengan siapapun dan sengaja tak membawa ponsel, perhatian saya utuh terfokus pada mereka. Saya serius untuk menguping mereka dan mendapatkan beberapa hal berharga di sela semua kata umpatan Suroboyo yang mengalir deras.

1. Teman yang baik tidak akan selalu membenarkanmu

Tokoh sentral yang tadi saya singgung sedang membela diri akan suatu hal. Dia piawai sekali mengambil analogi. Ada saja yang dapat ia temukan dengan jeli untuk memperkuat argumennya. Tapi yang unik, teman-temannya tak begitu saja setuju. Bahkan tak segan meluruskan. Bagi saya ini pengingat penting,

yang sebenar-benarnya sahabat bukan mereka yang senantiasa berkata 'iya' dan membenarkan argumenmu.

Konon sahabat yang sejati akan memukul dengan kasih namun musuh akan membanjiri dengan ciuman. Artinya, kita harus berhati-hati jika tipe orang di sekitar kita tergolong selalu tak bernyali menegur kesalahan kita. Toleransi dan pengampunan agaknya harus lahir setelah koreksi kesalahan dinyatakan. Satu teman si tokoh sentral dengan sabarnya memaparkan apa yang patut dan tidak dengan cara santai dan lagi-lagi berseling asap rokok serta pisuhan merdu.

2. Keputusan kecil juga akan berpengaruh

Tokoh sentral tadi lalu berujar "dulu aku melok OSIS nang SMA, aku saiki sadar iku salah satu pilihan krusial nang uripku." Di lanjutan ceritanya dia menggambarkan dia yang pemalas bahkan sampai salah pilih teman terselamatkan karena pilihan sederhana: jadi pengurus OSIS. Bukankah di hidup kita kadang juga demikian? Pilihan yang remeh namun kemudian kita sadari membawa pengaruh besar. Ketika kita memilih bergabung suatu komunitas atau bahkan pilihan menolak tawaran tertentu, semua ada imbasnya. Toh kita pasti sudah sadar betul bahwa kita hari ini sebenarnya adalah produk pilihan besar-kecil kita di masa lampau. Begitu juga masa depan, semua dipengaruhi pilihan kita hari-hari ini. Jadi, masih mau ceroboh menentukan?

3. Prinsip ekonomi tak berlaku pada relasi

Sambal saya terlalu nikmat sehingga kehilangan fokus sejenak. Obrolan lagi-lagi sudah berganti. Begitu dinamis anak-anak muda ini. Laki-laki yang paling kurus dan berkaos abu menyatakan ketidaksetujuannya pada prinsip si tokoh sentral soal "mengeluarkan sesedikit mungkin untuk mendapat sebanyak mungkin". Sederhana, dia hanya percaya bahwa itu tak dapat mentah dilakukan di relasi. Hubungan antar individu, menurutnya, justru akan rapuh ketika setiap orang di dalamnya hanya memikirkan untung rugi.

Saya menyembunyikan senyum di balik sedotan sembari menikmati es jeruk saya. Saya sepakat, persahabatan dan relasi apapun bukan soal surplus atau defisit. Hampa dan hina sekali jika orientasi otak kita melulu soal untung rugi. Hangatnya kebersamaan, manisnya perasaan dipahami, dan berharganya teguran menjadi usang dan tak bernilai. Semoga kita tak tergolong ekonom dalam segala relasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline